Sikap Hidup Orang Batak (Kearifan-kearifan Lokal)

Tiap bangsa atau suku bangsa tentu memiliki falsafah atau pandangan hidup (way of life) yang menjadi landasan idiel yang dipakai untuk menjadi pedoman hidup bersama. Falsafah hidup itu adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dianut, yang akan dijadikan dasar sekaligus tujuan yang bersangkutan dalam menentukan arah hidup mereka.

Dalam kosmologi Jawa, misalnya, dikenal ada dua dunia, yakni jagad cilik (manusia/individu) dan jagad besar (alam semesta). Kedua jagad tersebut diharapkan dapat bersimbiosis-mutualis (saling menghidupi) dalam suasana damai yang harmonis. Dalam pakeliran wayang hal itu terlihat pada gunungan, yang mengandung arti bahwa alam semesta dan mahluk hidup yang hidup di dalamnya dapat saling berinteraksi dalam suasana harmonis, selaras dan sehati.

Tak terkecuali dengan suku Batak yang konon terdiri dari 479 marga Batak. Mereka memperoleh warisan dari leluhur nilai2 yang dapat menjadi panutan dan tuntunan hidupnya. Hanya sayang, literatur tentang budaya Batak boleh dibilang tidak terlalu banyak, terutama jika dibandingkan dengan literatur budaya Jawa. Orang mengetahui nilai budaya Batak yang diwariskan secara turun temurun, biasanya dari tradisi lisan saja.

Dalam kondisi demikian, tidak heran jika pandangan streotip terhadap orang Batak tumbuh dan berkembang secara simplistis. Orang Batak disimpulkan sebagai berwatak keras, arogan dan kurang toleran, terutama jika dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang mereka geluti yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat pada umumnya.

Dalam kenyataannya, padahal, tidak selalu demikian. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki posisi penting di negeri ini.


Sejarah Suku Batak

Leluhur orang Batak sering juga disebut Si Raja Batak. Menurut Sitor Situmorang, sastrawan Indonesia terkemuka, asal-usul orang Batak dan relasinya dengan langit berdasarkan skema:


Putra Batara Guru ---> Ihatmanusia ----> Engbanua -->Si Raja Bonang2 ----> Tantan Debata ----> Si Raja Batak. 

Lima generasi keturunan Putra Batara Guru dilukiskan sebagai leluhur berbagai suku bangsa di  sekeliling Danau Toba. Si Raja Batak sendiri dikaitkan dengan sejarah pemukiman pertama di kaki Pusuk Buhit yang dihayati sebagai pusat wilayah Toba Na Sae.

Versi lain menyebutkan, Si Raja Batak diperkirakan hidup sekitar 750 tahun yang lalu. Pertimbangannya, jika ditarik garis keturunan dari Si Raja Batak hingga kini sudah mencapai 30  generasi, sedangkan usia satu generasi diperkirakan 25 tahun.

Si Raja Batak, konon, anak raja dari Kerajaan Tulangbawang, yang kini masuk wilayah Lampung Utara. Karena ekspansi Kerajaan Sriwijaya, putra raja ini kemudian melarikan diri disertai beberapa pengikutnya ke utara dan menetap di bukit Pusuk Buhit di bagian barat Danau Toba. Di sanalah ia hidup secara turun temurun hingga keturunannya yang sudah menyebar ke seluruh dunia.

Dari keturunan Si Raja Batak, lahirlah garis keturunan yang merupakan ikatan pertalian darah yang kuat dan saling mengikat yang dikenal dengan istilah Tarombo (silsilah, garis keturunan, sistem marga atau sistem kekerabatan).

Jika dicermati, asal muasal marga2 Batak adalah Pulau Samosir di Danau Toba. Tak heran jika desa2 di sana memiliki nama sesuai dengan nama marga2 yang ada (Silalahi, Sidabutar, dsb).

Sebagai suku bangsa yang menganut sistem patrilinial, oleh penerusnya tarombo selalu diperbaharui dengan cara mendaftarkan/memasukkan nama anak2nya (khususnya lelaki) sebagai garis keturunan berikutnya. Dari level keturunan ini pula (dalam budaya Batak kerap juga disebut nomor), seseorang bisa memposisikan dirinya terhadap orang lain. Artinya, dengan tingkatan tersebut ia bisa menyebut/memanggil seseorang dengan sapaan tertentu.

Dalam skop sederhana, sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, ciri2 pemerintahan juga sudah kita temui pada masyarakat Batak. Selain wilayah, kepala pemerintahan maupun rakyat, sudah terdapat pula struktur pemerintahan. Lihat, misalnya, di lekuk Toba sudah ditemui yang disebut bius (kumpulan puluhan kampung) yang dipimpin seorang raja dan beberapa wakilnya. Di bawah bius, ada beberapa horja yang meliputi beberapa kampung (huta). Demikian seterusnya ke bawah, masing2 terorganisasi satu sama lain dalam garis hirarki yang jelas.



Falsafah Hidup Orang Batak

Leluhur orang Batak meninggalkan falsafah hidup yang hingga kini masih menjadi panduan hidup bersama. Falsafah hidup orang Batak yang dikenal selama ini adalah boraspati (cecak). Falsafah yang bisa dipetik dari cecak yakni dalam kondisi/posisi seperti apa pun (di bawah, di atas atau di samping), cecak selalu menempel/lengket dengan habitatnya.
Tafsir boraspati, jika demikian, orang Batak (harus) mudah beradaptasi dan akan disenangi oleh lingkungannya. Dalam realitasnya, hal itu terpantul lewat berbagai aspek kehidupan orang Batak. Perhatikan kala mereka merantau, mereka selalu berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya dan hidup berdampingan dengan prinsip saling menghormati.

Falsafah boraspati ini kemudian dilengkapi dengan 'juklak' (petunjuk pelaksanaan) yang lazim disebut dengan Dalihan Na Tolu (Tungku yang Tiga). Secara fisik, tungku yang dimaksud adalah tungku yang terdiri dari tiga batu simetris dan kokoh untuk menopang periuk nasi.

Ketiga tungku tersebut harus saling dukung dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tiap tungku punya fungsi dan makna sendiri. Dalam kekerabatan Batak, tungku pertama disimbolkan sebagai tubu (teman semarga), tungku kedua hula2 (jalur/pihak dari istri), dan tungku ketiga boru (pihak yang menikahi anak perempuan). Dengan kata lain, mereka adalah Raja ni dongan tubu, Raja ni hula2, dan Raja ni boru. Mereka harus hidup saling bekerjasama (saling menolong) meski dengan cara yang berbeda.

Sikap terhadap Raja ni dongan tubu harus manat (hati2). Perilaku tidak boleh menyinggung mereka. Harus saling bertanya dan mengingatkan. Sikap tersebut dalam tamsil Batak sering dinyatakan sebagai "lembut bak daun pisang, dukung mendukung bagai talas di tebing".

Sementara itu sikap terhadap Raja ni hula2 adalah somba (hormat), dalam arti sepenuh hati menghormati pihak mertua, mengingat dari pihak merekalah diperoleh keturunan. Di Batak sikap terhadap hula2 ini sering diibaratkan sebagai "di depan harus dikejar, di belakang harus ditunggu".

Sedangkan sikap terhadap Raja ni boru harus elek (membujuk). Pihak boru tidak boleh pulang dengan linangan airmata sewaktu meninggalkan hula2nya. Artinya, jika toh ada kekurangan, terimalah ia apa adanya, kemudian dibimbing dan diberi nasehat agar ia hidup bahagia.


Relevansi dengan Dunia Kerja

Dalam kehidupan keseharian terutama dunia kerja, falsafah hidup orang Batak juga dapat diterapkan. Misalnya sikap terhadap teman sekerja, mereka ibarat dongan tubu kita. Kepada mereka kita harus saling bertanya, tukar menukar informasi, saling bekerjsama dan saling menghormati.

Karenanya kita harus berusaha menempatkan diri sebaik mungkin agar mereka tidak tersinggung karena perilaku kita, yang pada gilirannya bisa mengganggu ketenangan kerja.

Bagaimana sikap kita terhadap atasan? Kita harus bersikap sebagaimana kepada hula2. Kita harus bersikap hormat yang tulus dan tidak boleh membantah/melawan. Dalam pekerjaan kita harus bisa mengimbangi apa yang menjadi keinginan atasan kita.

Sikap terhadap bawahan bisa diibaratkan sikap terhadap boru. Kita harus bersikap membujuk dan membimbing. Kita juga harus bisa menampung keluhannya dan menerima kekurangan/kelemahannya. Jika bawahan salah, misalnya, kesalahan mereka tidak harus diungkap semua atau sekaligus. Kita harus bijak dan dapat berperan sebagai guru.


Kesimpulan

Masyarakat Batak, sebenarnya, mempunyai falsafah hidup yang luhur/tinggi, terutama dalam memandang hidup dikaitkan dengan realitas lingkungan sekitar. Falsafah Boraspati dan Dalihan Na Tolu --meskipun sangat berarti--, sebenarnya merupakan sebagian kecil dari kekayaan budaya Batak lainnya.

Masih banyak peninggalan leluhur lainnya yang layak dipelajari, seperti huruf Batak (yang memiliki keunikan tersendiri), filosofi rumah adat Batak, pustaha Batak, kalender Batak, tenun ulos, dan beberapa bentuk patung yang memiliki makna filosofi tersendiri di dalamnya.

Setidaknya, melalui tulisan singkat ini, beberapa kandungan kekayaan budaya Batak sudah mulai terungkap.

Tak kenal maka tak sayang.
Maka kenalilah dan sayangilah mulai sekarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca juga artikel tentang