PUSTAHA BATAK

Pustaha Batak, disebut Pustaha Laklak

Pustaha laklak adalah bukti sejarah bahwa sejak tempo doeloe orang Batak Toba telah mengenal budaya menulis. Pada masa agama belum masuk ke Tanah Batak, sebelum kini kita mengenal peradapan modern seperti sekarang ini, orang Batak telah menulis. Tapi buku orang Batak kala itu tentu saja belum ditulis di atas kertas melainkan diatas kulit kayu yang disebut Pustaha Laklak.
 
Pustaha Laklak
Konon buku pertama halak hita adalah Pustaha Tumbaga Holing, kitab yang diturunkan oleh Si Raja Batak.Selanjutnya pustaha laklak, atau biasa disingkat laklak, ditulis oleh kalangan dukun.

Mereka menulis kitab-kitab hadatuon untuk keperluan ilmu nujum atau pengobatan penyakit-penyakit. Laklak asli buatan datu di masa lalu ditulis dalam aksara Batak, bukan huruf Latin seperti yang sekarang bisa ditemukan di toko-toko suvenir jika anda berkunjung ke danau toba. Namun banyak juga pustaha hadatuon yang ditulis dengan simbol-simbol atau gambar, dengan maksud supaya tidak semua orang memahaminya. Rahasia yang tercatat lewat gambar itu biasanya berupa formula ramuan khusus dan tabas atau mantra sang dukun.


Siapakah Orang Batak Itu

Siapakah Orang Batak Itu?
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/01/29/index.html

Ada yang bilang orang Batak bersaudara dengan orang Filipina dan Thailand. Ada pula yang mengatakan bahwa orang Batak berasal dari India. Atau, orang Batak hampir sama dengan orang Toraja.

Banyak versi yang mengira-ngira, siapa dan dari mana orang Batak itu berasal.

Versi sejarah mengatakan, si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia, lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 km arah Barat Kota Pangururan, ibu kota Kabupaten Toba Samosir, di pinggiran Danau Toba.

Versi lain mengatakan, orang Batak datang dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo, berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.

Diperkirakan, si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama si Raja Buntal adalah generasi ke-20.

Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di Barus.

Pada tahun 1275, Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar tahun 1400, kerajaan Nakur berkuasa di sebelah timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.

Dengan memperhatikan tahun dan kejadian di atas, diperkirakan si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari selatan Danau Toba (Portibi), atau dari barat Danau Toba (Barus), yang mengungsi ke pedalaman akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus.

Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya, si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya, ditempatkan di Portibi, Padang Lawas, dan sebelah timur Danau Toba (Simalungun)

Sebutan Raja kepada si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya. Demikian halnya keturunan si Raja Batak, seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan dan sebagainya, meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah.

Selanjutnya menurut buku Leluhur marga-marga Batak, dalam silsilah dan legenda, yang ditulis Drs Richard Sinaga, Tarombo Borbor Marsada anak si Raja Batak ada tiga orang, yaitu Guru Teteabulan, Raja Isombaon, dan Toga Laut. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya marga-marga Batak.

Di antara masyarakat Batak, ada yang mungkin setuju bahwa asal-usul orang Batak dari negeri yang berbeda, tentu masih sangat masuk akal. Siapa yang bisa menyangkal bahwa Si Raja Batak yang pada suatu ketika antara tahun 950-1250 Masehi muncul di Pusuk Buhit, adalah asli leluhur Orang Batak?

Sejak zaman dulu, orang Batak memang perantau ulung. Di Sumatera Utara saja banyak orang Batak yang bermukim di daerah Asahan, Labuhan Batu. Mereka sejak lama telah menghapus marganya kemungkinan karena kebiasaan mereka setelah memeluk agama Islam.

Bahkan, di daerah Langkat ditemukan penduduk bermarga seperti Gerning, Lambosa, Ujung Pinayungan, Berastempu, Sibayang, Kinayam, Merangin angin, dan lain-lain yang konon merupakan kelompok marga Malau (WM Hutagalung, Pustaha Batak, Tulus Jaya, hal 58).

Konon menurut cerita, istri Raja Langkat berasal dari kelompok Marga tersebut. Batak apa pula mereka kita namakan?

Mungkin, banyak literatur tersimpan di Negeri Belanda sana yang belum mengungkap bagaimana sesungguhnya pluralisme di Tanah Batak. Namun, dengan kacamata nasional, kita melihat bahwa Indonesia sangat kaya dengan adat dan budaya daerah, salah satunya adalah adat dan budaya Batak.

Filosofi Dalihan Natolu
Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal, yakni dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Natolu (Bahasa Batak Toba). Di Simalungun disebut Tolu Sahundulan.

Dalihan dapat diterjemahkan sebagai tungku dan hundulan (tempat duduk) sebagai "posisi duduk". Keduanya mengandung arti yang sama, yakni tiga posisi penting dalam kekerabatan orang Batak, yaitu pertama, hula-hula atau Tondong, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya "di atas", yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut Somba-somba.

"Somba marhula-hula" berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.

Kedua, Dongan Tubu atau Sanina, yaitu kelompok orang yang posisinya "sejajar", yaitu teman/saudara semarga. Manat mardongan tubu artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.

Ketiga, Boru yaitu kelompok orang yang posisinya "di bawah", yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Dalam kehidupan sehari hari kita harus elek marboru, artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.

Dalihan Natolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Ada saatnya menjadi hula-hula/tondong, ada saatnya menempati posisi dongan tubu/sanina dan ada saatnya menjadi boru. Dengan Dalihan Natolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta, atau status.

PUSTAHA LAKLAK

Naskah kuno merupakan peninggalan budaya masa lalu yang perlu dilestarikan. Namun bagi kita generasi bangso batak ini, sulit sekali menemukan Naskah-Naskah Batak secara utuh di Indonesia ini, karena selain minimnya kepedulian untuk menghargai dan melestarikannya, juga banyak naskah kuno asal Indonesia bermukim di mancanegara sejak ratusan tahun lalu.

Pada Komunitas Batak yang mempunyai beberapa etnis, seperti Mandailing, Simalungun, Karo, Pakpak, Angkola serta Batak Toba di Sumatera Utara, mempunyai naskah kuno yang ditulis pada lembaran kayu ulim yang panjang berlipat-lipat dengan tinta mangsi yaitu hasil tampungan asap dari pembakaran kayu jeruk purut dengan pena bulu ayam, atau campuran bahan getah sona, air tebu, dawat, air getah unte hajor, bunga sapa, air jahe, merica serta minyak; ada juga dari bahan lain seperti bambu sebagai pengganti kertas.

Naskah Batak Kuno yang disebut PUSTAHA LAKLAK dengan memakai aksara batak dengan tahun penulisannya tidak diketahui. Di dalam Pustaha Laklak memuat banyak sekali aturan yang  bernorma pada kepercayaan asli Orang Batak.

Baca juga artikel tentang