Hubungan Kekerabatan atau Partuturon

Hubungan Kekerabatan atau Partuturon
(Sapaan dalam Budaya Batak Toba)

Jolo tinittip sanggar asa binahen huru-huruan,
Jolo sinungkun marga asa binoto partuturon.

BUDAYA Toba sangat kaya akan istilah hubungan kekerabatan (partuturon), sehingga bagi mereka yang tidak mengikutinya sejak kecil akan sulit menggunakannya dengan benar.

Oleh karena itu banyak orang Batak yang tidak begitu faham mengenai hubungan kekerabatan (partuturon), terutama mereka yang lahir dan besar di perantauan.

Bagi orang Batak, partuturon adalah sangat penting, karena partuturon adalah untuk mengetahui hubungan kekerabatan kita satu sama lain dan menentukan bagaimana kita menyapa kawan bicara kita.

Dalam upacacara adat, partuturon adalah dasar untuk mengetahui posisi kita, yaitu unsur mana kita dalam Dalihan Na Tolu: arti hurufiah, segitiga tungku api. Pada suatu saat kita bisa Dongan Tubu, di saat lain menjadi Boru dan dilain kesempatan menjadi Hula-hula.

Apabila kita salah dalam menyapa kerabat kita, maka bisa terjadi orang yang disapa tersebut menjadi tersinggung, karena merasa kurang dihargai pada posisinya yang sebenarnya. Juga partuturon ini sangat menentukan dalam pembagian jambar dalam acara adat. Oleh karena itu kita masyarakat Batak wajib memahami hubungan kekerabatan atau yang dalam bahasa Batak disebut Partuturon.

Berikut ini adalah “Partuturon” atau sistem kekerabatan yang lazim dipakai dalam Budaya Batak Toba, kiranya dapat berguna bagi pembaca.

Catatan: “Saya” adalah orang/saya yang sedang membaca tulisan ini :

1. Ahu baca au, adalah sebutan bahasa Batak Toba untuk “Saya”.
2. Amang saya ialah bapak kandung saya, disapa dengan Amang atau Among.
3. Amang juga digunakan untuk menyapa :
• Simatua doli = mertua laki-laki
• Hela = menantau laki-laki
• Haha doli = abang dari suami (saya perempuan)
• Amang naposo = ponakan laki-laki atau putra dari kakak atau adik laki-laki saya (saya perempuan). Di beberapa tempat, Amang Naposo juga dipanggil "Paramaan" atau semua laki-laki yang memanggil "Namboru" kepada saya (saya perempuan)
• Amang bao = besan laki-laki (saya perempuan)
• Panggilan kasih sayang kepada suami.
• Panggilan kasih sayang kepada anak laki-laki.
• Panggilan umum untuk semua Bapak-bapak yang kita hormati (sebelum diketahui hubungan kekerabatan).

4. Inang saya ialah ibu kandung saya, disapa dengan Inang atau Inong.
5. Inang juga digunakan untuk menyapa :
• Simatua boru = mertua perempuan
• Parumaen = menantu perempuan (saya lak-laki).
• Anggi boru = istri dari adik (saya laki-laki)
• Inang naposo = istri dari Amang Naposo (saya perempuan) (lihat di atas).
• Inang bao = besan perempuan (saya laki-laki).
• Panggilan kasih sayang kepada istri.
• Panggilan kasih sayang kepada anak perempuan
• Panggilan umum kepada semua Ibu-ibu yang dihormati (sebelum diketahui hubungan kekerabatan).

6. Ompung Suhut saya ialah ayah dan ibu dari bapak saya. Ayah dari bapak saya ialah
Ompung Doli, dan ibu dari ayah saya ialah Ompung Boru, keduanya disapa dengan Ompung (baca: oppung).

7. Ompung juga digunakan untuk menyapa :
• Ompung Doli dan Ompung Boru dari pasangan saya.
• Panggilan umum kepada semua orang tua (sebelum diketahui hubungan kekerabatan).
• Panggilan kasih sayang kepada cucu.

8. Amang-tua saya ialah abang dari bapak saya, dipanggil Amangtua/bapak tua

9. Amang-tua saya ialah juga:
• Suami dari kakak-perempuan ibu saya.
• Bapak dari ompung doli saya (amang tua mangulahi), ada juga menyebut ompung nini.
• Semua yang dipanggil abang oleh bapak saya (mis: karena hubungan marga atau abang
pariban).

10. Inang Tua saya ialah istri dari amang tua saya, disapa dengan
Inangtua/omatua/mamatua.

11. Inang Tua saya adalah juga:
• Kakak perempuan dari ibu saya.
• Ibu dari ompung doli saya (inang tua mangulai).
• Isteri dari orang yang dipanggil abang oleh bapak saya, termasuk abang pariban.

12. Amang-uda saya ialah adik laki-laki dari bapak saya, disapa dengan Amanguda/bapak uda.

13. Amang-uda juga dipakai untuk menyapa :
• Semua laki-laki yang dipanggil adik oleh bapak saya, termasuk adik pariban.

14. Inang-uda saya ialah isteri dari amang-uda saya, disapa dengan inanguda.

15. Inang-uda saya adalah juga :
• Adik perempuan dari ibu saya yang sudah menikah (adik pariban).

16. Inang-baju saya ialah adik perempuan dari ibu saya yang belum menikah

17. Angkang Baoa saya (saya laki-laki) adalah saudara laki-laki saya yang lebih tua dari saya (saya laki-laki), dipanggil Angkang (baca: akkang).

18. Angkang Baoa adalah juga (saya laki-laki) :
• Semua putra amang tua saya.
• Suami dari kakak perempuan istri saya.
• Suami dari kakak perempuan saya (saya perempuan).

19. Angkang Boru saya (saya laki-laki) ialah istri dari angkang baoa saya, disapa dengan Angkang.

20. Angkang Boru saya adalah juga:
• Suami dari kakak istri saya.
• Kakak perempuan saya (saya perempuan).
• Istri dari abang suami saya.

21. Anggi saya ialah (saya laki-laki) adik laki-laki saya, disapa dengan anggi atau anggia.

22. Anggi saya juga:
• Semua anak laki-laki dari Amang Uda saya (saya laki-laki).
• Semua laki-laki yang memanggil angkang kepada saya.
• Adik perempuan dari isteri saya.
• Adik perempuan saya (saya perempuan).
• Adik laki-laki dari suami saya.

23. Haha Doli saya (saya perempuan), disapa dengan Amang, ialah:
• Abang dari suami saya.
• Semua yang dipanggil abang oleh suami saya.

24. Anggi Boru saya (saya laki-laki) , disapa dengan Inang, ialah:
• Isteri dari adik saya.
• Semua isteri dari yang panggil abang kepada saya.

25. Tunggane Boru (= Parsonduk Bolon ) (saya laki-laki) ialah istri saya, disapa dengan Inang.

26. Tunggane Doli (= Sinonduk) saya (saya perempuan) ialah suami saya, disapa dengan Amang.

27. Anak saya adalah anak laki-laki saya, dipanggil Anaha, atau Amang.

28. Anak saya, juga anak dari isteri saya:
• Anak laki-laki dari abang dan adik laki-laki saya.
• Anak laki-laki dari pariban saya.
• Anak laki-laki dari yang semarga dengan saya.

29. Parumaen saya, juga parumaen dari isteri saya, dipanggil Inang (saya laki-laki) ialah:
• Istri dari anak saya.
• Parumaen dari abang dan adik saya
• Parumaen dari pariban saya.
• (istri saya memanggil parumaen saya dengan namanya atau panggoaranna = nama berdasarkan anaknya yang tertua).

30. Pahompu saya adalah putra dan putri dari anak-anak saya, dipanggil Pahompu.

31. Pahompu saya adalah juga pahompu isteri saya:
• Pahompu dari abang dan adik saya.
• Pahompu dari pariban saya.
• Semua yang memanggil ompung kepada saya.

32. Nini saya adalah cucu dari putra saya.

33. Nono saya adalah cucu dari putri saya.

34. Ondok-ondok saya adalah cucu dari cucu laki-laki saya.

35. Iboto atau Ito saya (saya laki-laki), ialah kakak dan adik perempuan saya, disapa dengan Ito.
36. Iboto atau Ito saya (saya laki-laki) adalah juga:
• Semua anak perempuan dari amang-uda dan amang-tua saya.
• Semua anak perempuan dari Namboru saya.
• Semua perempuan yang semarga dan sebaya dengan saya, (sebelum diketahui hubungan kekerabatan).
• Iboto dari ompung saya (ito mangulahi).
• Ito juga panggilan umum kepada semua perempuan yang sebaya, yang belum ada hubungan kekerabatan.

37. Iboto atau Ito saya (saya perempuan) adalah abang dan adik laki-laki saya, disapa dengan
Ito.

38. Iboto atau Ito (saya perempuan) saya adalah juga:
• Semua anak laki-laki dari amang-uda dan amang-tua saya.
• Semua anak laki-laki dari Tulang saya.
• Semua laki-laki yang semarga dan sebaya dengan saya, (sebelum diketahui hubungan kekerabatan).

• Ito juga panggilan umum kepada semua laki-laki yang sebaya, sebelum diketahui hubungan kekerabatan.

• Ito juga panggilan kepada cucu iboto saya ( i t o mangulahi).

39. Lae saya (saya laki-laki) ialah suami dari ito saya, disapa dengan Lae .

40. Lae juga dipakai untuk menyapa (hanya antarlaki-laki):
• Lae dari abang dan adik saya.
• Ito dari istri saya (tunggane).
• Semua putra dari Tulang saya.
• Anak laki-laki dan menantu laki-laki dari amang-boru saya.
• Semua laki-laki yang sebaya dengan saya yang beristerikan yang semarga dengan saya.
• Semua laki-laki yang memanggil Lae kepada saya.
• Panggilan umum untuk semua laki-laki, sebelum diketahui hubungan kekerabatan.

41. Bere saya adalah juga bere istri saya, ialah putra dari iboto saya, dan cucu laki-laki dari amang-boru saya.

42. Bere adalah juga abang dan adik menantu laki-laki (hela) saya.

43. Ibebere saya adalah juga ibebere dari isteri saya, ialah putri dari i t o saya dan cucu perempuan dari amang-boru saya.

44. Bere/Ibebere saya pada umumnya, semua yang ibunya semarga dengan saya (saya laki-laki).

45. Pariban saya ialah:
• Putri Tulang saya (saya laki-laki).
• Putra dari namboru saya (saya perempuan).
• Saudara perempuan dari isteri saya dan suaminya (saya laki-laki).
• Saudara perempuan saya dan suaminya (saya perempuan).
• Semua perempuan yang semarga dengan isteri saya dan suaminya (sayalaki-laki).
• Semua perempuan yang semarga dengan saya dan suaminya (saya perempuan).

46. Pariban so olion saya ialah:
• Cucu perempuan dari Tulang ibu saya (saya laki-laki).
• Cucu laki-laki dari namboru bapak saya (saya perempuan).

47. Amang Bao saya (saya perempuan), disapa dengan Amangbao, atau Amang, atau Bao, ialah:
• Suami dari iboto suami saya.
• Amang Bao dari kakak adik saya.
• Suami dari putri amang-boru saya.

48. Inang Bao saya (saya laki-laki), disapa dengan Inangbao, atau Inang, atau . Bao, ialah :
• Istri dari iboto istri (tunggane) saya.
• Inang Bao dari abang dan adik saya.
• Istri dari putra Tulang saya.

49. Eda (hanya antarperempuan) saya (saya perempuan), disapa dengan Eda, ialah :
• Istri dari iboto saya.
• Putri dari Tulang saya.
• Iboto dari suami saya.
• Putri dari namboru saya.
• Panggilan umum kepada semua perempuan yang sebaya, yang belum diketahui hubungan kekerabatan.

50. Namboru saya ialah iboto dari bapak saya, disapa dengan Namboru.

51. Namboru juga dipakai untuk menyapa:
• Namboru suami saya (saya perempuan).
• Mertua perempuan dari iboto saya (saya laki-laki).
• Mertua perempuan dari kakak perempuan saya (saya perempuan).
• Ibu dari amang bao saya (saya perempuan).

52. Amang-boru saya ialah suami dari namboru saya, disapa dengan Amangboru.

53. Boru saya adalah putri saya, disapa dengan Boru, Ito atau Inang.

54. Boru saya adalah juga boru dari isteri saya, yaitu :
• Boru dari abang dan adik saya.
• Boru dari yang semarga dengan saya.
• Boru dari pariban saya.

55. Boru Tubu saya ialah putri kandung saya dan i t o kandung saya (saya laki-laki)

56. Boru Diampuan saya:
• Semua boru tubu dari abang dan adik kandung saya.
• Semua boru kandung dari amang-tua dan amang-uda kandung saya.

57. Boru Namatua saya ialah:
• Amang boru/namboru dari bapak saya.dan keturunannya.
• Amang-boru/namboru saya dan keturunannya.

58. Hela saya juga hela dari isteri saya, disapa dengan Amanghela atau Amang, ialah:
• Suami dari putri saya
• Suami dari putri-putri abang dan adik saya.
• Hela dari abang dan adik saya.
• Hela dari pariban saya.

59. Simatua ni Boru saya, ialah orang tua dari hela saya.

60. Boru saya juga boru dari isteri saya, adalah semua orang yang isterinya semarga dengan saya (saya laki-laki).

61. Tulang saya adalah iboto (saudara laki-laki) dari ibu saya .

62. Tulang juga dipakai untuk menyapa:
• Iboto dari inang-tua dan inanguda saya.
• Panggilan untuk anak laki-laki dari tunggane (= tulang naposo saya (saya laki-laki).
• Bapak dari ompung bao saya (tulang mangulahi).
• Tulang juga adalah panggilan umum untuk kelompok hula-hula.

63. Nantulang saya ialah isteri dari tulang saya.

64. Nantulang juga panggilan untuk:
• Istri dari abang dan adik tulang saya.
• Ibu dari ompung bao saya (nantulang mangulahi).
• Istri dari putra tunggane saya (nantulang naposo).

65. Tunggane saya (saya laki-laki) ialah iboto dari istri saya, disapa dengan Lae.

66. Tulang Naposo = saudara laki dari ibu (Paramaan) saya (saya laki-laki) adalah putra dari tunggane saya, dipanggil Tulang.

67. Amang Naposo (Paramaan) saya (saya perempuan) , dipanggil Amang, ialah :
• Putra dari iboto saya.
• Semua laki-laki yang memanggil namboru kepada saya.

68. Inang Naposo saya ialah istri amang naposo saya (saya perempuan), dipanggil Inang.

69. Maen saya ialah:
• Putri dari tunggane saya (saya laki-laki).
• Putri dari iboto saya (saya perempuan).
• Semua yang memanggil amang-boru atau namboru kepada saya.

70. Simatua saya (saya laki-laki) ialah orang tua dari isteri saya. Simatua-doli disapa dengan Amang, dan Simatua-boru disapa dengan Inang.

71. Simatua saya (saya laki-laki) termasuk:
• Abang dan adik simatua-doli saya.
• Kakak dan adik-perempuan simatua-boru saya.

72. Simatua saya (saya perempuan) ialah orang tua dari suami saya. Simatua-doli disapa dengan Amang dan simatua-boru disapa dengan Inang.

73. Simatua saya (saya perempuan) termasuk abang dan adik dari simatua saya.

74. Hula-hula saya adalah juga hula-hula istri saya, yaitu mertua saya serta abang dan adiknya.

75. Hula-hula pada umumnya sebutan kepada pihak yang semarga dengan mertua dan semuaTulang saya.

76. Bona Tulang saya ialah hula-hula ompung saya atau tulang bapak saya dan keturunannya (saya laki-laki).

77. Tulang Rorobot saya ialah tulang ibu saya beserta keturunannya (saya laki-laki).

78. Bona ni Ari saya ialah tulang dari ompung saya dan keturunannya (saya laki-laki).

79. Ompung Bao saya ialah orang tua dari ibu saya.

80. Hula-hula marhaha-maranggi saya (saya laki-laki) ialah:
• Mertua (hula-hula) dari abang dan adik laki-laki saya.
• Hula-hula amang-tua dan amang-uda saya.

81. Hula-hula Naposo (Hula-hula Parsiat) saya (saya laki-laki) ialah:
• Mertua (hula-hula) dari putra saya.
• Mertua (hula-hula) putra abang dan adik kandung saya.

82. Hula-hula Sijungkot saya ialah mertua (hula-hula) dari pahompu saya (saya laki-laki).

Partuturon ini disusun berdasarkan pengalaman mengikuti partuturon sehari-hari dan informasi dari berbagai sumber, disadari bahwa pasti ada kekurangan atau tidak sesuai dengan pendapat pembaca, untuk mana diharapkan kritik dan perbaikan.


Jolo tinittip sanggar asa binahen huru-huruan,
Jolo sinungkun marga asa binoto partuturon.

DUA PUNGGA SAPARIHOTAN

TONGKA DUA PUNGGA SAPARIHOTAN
Penulis : Patuan Raja Bonar Siahaan

Ia pungga ima sada ula-ula patajom raut, tangke, kapak, golok dohot nahombar tusi. dua ragam do pungga dipangke pande. Sada pungga risi (pungga kasar) sada pungga lamot (licin). Sian Batu do dibahen pungga i umbahen ndang didok batu puanggal (Batu Asah). Umbalga do dibahen pungga na risi i (pungga Asaan) asa ummura tajom napinunggana, dungi dipungga ma muse tu pungga lamot asa lamot (halus) na niulana. Alai molo holan martaba-taba hau do ndang pola sai ingkon punggaonna be ula-ulana i dohot pungga lamot. Somalna najolo dirahut do ujung ni pungga lamot asa suman diboan manang disangkothon Sada do somalna punggana i saparihotan (gantungan).

Adong ma partaba hau laho borhat tu harangan laho palolo parhau ni jabu, unang parimbahu ninna rohana boan-boanna, dipadomu ma punggana i dua saparihotan, disangkothon ma digontingna. Alai ditingkki mardalan dope sibuat hau i, masiantuhan ma pungga na dua i, sian na so panghilalaanna, gabe mabola ma pungga nadua ndang boi be dipangke. Marsak ma ibana ndang tajom be ula-ulana, ala naung matapor punggana na dua i. Sundat ma ulaonna paima di lului ibana muse pungga laho patajom tangkena, dohot rautna.

Adong do hata Batak mandok, mata guru roha sisean, ndang sibahenon hape dua pungga saparihotan, gabe patunda arsak do ujungna, laos digombarhon ma i masuk tu ruhut ulaon. Ala ni i didok angka natua-tua ma unang dua pungga saparihotan asa tulus ulaon, gabe dipatudos ma i tu anak mangoli dohot boru muli unang dua saparihotan.

Lapatan na, adong ma anak ni paranak mangoli boru ni parboru, baoa i mangoli boru siangkangan, laos anggi ni baoa i mangoli anggi ni borua i (pariban) gabe sada simatua ma namarhaha-maranggi dohot na marpariban.

Ia dihalak Batak Toba subang do margait tu anggi boruna ala hira na marpaurmaen do halak Batak Toba tu anggi boruna i. Dirajumi do hahana i songon pangintubu di adat nang di siulaon. Alai na marpariban, boi do bahenon pargaiton, alana ianggo anggi pariban do na boi do i muse singkat rere tu hahana pariban molo jumpang tingkina. Halak Batak Toba molo pangolihon anak dohot pamuli boru na manambai partuturon do, molo adong pestana (ulaon) asa torop tutur mangadopi ula on. Molo sada do simatua ni dua anak dohot sada simatua ni boru na marhasohotan, tung manggorahon jambar pe nunga haduk idaon ni natorop. Jadi tung diorai adat do i di Batak Toba. Dua namarhaha, maranggi sada simatua, unang sega paranggi boru on, unang sega ruhut parparibanon.

UNANG DUA SAPARASOMAN

Molo marsiulaon (pesta) halak Batak somal do diseat pinahan lobu sampe lima, saparasoman do dibahen i. I do umbahen adong hata mandok goar gota, mudar ni pinahan i do i, dipadomu sainganan. Mudarna i do didok gotana, ai ndang sidohonon sipanganon mudar, gabe diganti ma goar na dohot “gota”, nang pe manang piga diseat pinahan disada pesta i, ianggo na margoar parjambaron sian sada pinahan do dipatupa. Dihalak Batak digombarhon do parulaon tu paradaton, dilapathon ma i tu hadirion ni angka ugari, ai ndang suman dua ulaon pangadation dibagasan sada ari lumobi pasahat adat tu hula-hula.

Hatorangan :
Adong ma mamungka parsaripeon sada baoa dohot sada borua. Nunga sampe doli-doli dohot namarbaju ianakhonna, laos so diadati dope hula-hulana (manggarar adat). Sada tingki laho pangolihonnonna ma anakna dibagasan adat, marningot ma ibana na so manggarar adat dope nasida tu hula-hulana (simatua ni napangolihon), gabe dipadomu ma ulaon adat. Dibahen (natoras ni pangoli) ma ulaon manogot pangadation tu hula-hulana, ulaon dijabu ma dibahen, ndang marantaran nabidang marlobuan nagodang be goar ni siulaonna. Olo ma holan tolu manang opat halak hula-hulana ro, songon i dongan tubu dohot boru, laos olo do ndang ro tulang ni ama dohot ina.

Asal ma goarna mangadati dihudus ulaon ai naeng hatop pasaut ulaon pangolion ni anakna laho patupahon pesta na balga. Olo ma marsak hula-hula na mangantusi adat, boruna manang ibotona do patupa hepeng (biaya) pangoli ni berena hape leas do dibahen tu nasida, holan sipalemsem nama ulaon pangadation i di rohana, berengon ni natorop pe hurang suman do pambahenanna i.

Ia molo diulaon (unjuk) ni anak, na olo do dipatupa horbo sitingko tanduk parjuhutna, jala huhut di patupa dohot musik. Marolop-olop ma hula-hula ni parumaen dohot tinogihonna manginongi ma roha ni hula-hulana, naumboto huhut ni adat.

Ruhut ni adat di habatahon leas ni roha (pelecehan) do i tu hula-hula, sipaula do pangadation i asal ma didok naung digoar naung sahat adat hape songon opera dibahen ulaonna lumobi tu hula-hulana.

Molo diruhut ni habatahon tung subang do bahenon sipaula (sipalensem) adat, ingkon denggan do sulang-sulangan hula-hula di ari na binuhul, unang adong na marhansit ni roha. Ido umbahen diorai adat dohot uhum, Unang Dua Pungga Saparihotan Unang Dua Saparasoman.

Sumber :
https://tanobatak.wordpress.com/2007/05/18/tongka-dua-pungga-saparihotan/

Anda Kenal Tahul-tahul alias Kantong Semar?

Tahul-tahul alias kantong semar dengan bahasa latinnya Nepenthes spp; sering kita temukan pada perjalanan ke Batuharang di desa Lumban ina-ina Kecamatan Pagaran, ditepi atau dipinggir jalan menuju batuharang ataupun ladang lainnya dan juga di daerah lainnya pasti pernah menemukan atau melihatnya. Di daerah Humbahas tumbuhan ini juga banyak ditemukan, mis.: Silaban rura, Pakkat Sitio-Tio, Sosor Gonting, Bakara, dan Dolok Sanggul.

Pada masa kecil dulu tumbuhan ini tidak memiliki manfaat apa-apa cuma sekedar bisa dibuat mainan pelipur lara pada saat capek diperjalan. Apabila kita ingin membasmi semut, lalat, dan kecoak di rumah? Pelihara saja kantong semar. Tanaman pemangsa serangga ini agaknya menjadi cara alami yang ampuh membasmi semua serangga pengganggu, sekaligus mempercantik rumah dengan penampilannya yang unik. Nepenthes sangat unik karena berbeda dengan tanaman hias yang sering dijadikan koleksi. Bukan tanpa alasan jika tahul-tahul begitu sebutan di sebagian Sumatera - digemari. Penampilan tanaman pemakan serangga itu memang impresif. Dari ujung daun, keluar kantong yang punya bentuk dan corak beragam. Tanaman yang termasuk dalam golongan carnivorous plant (tumbuhan pemangsa) ini bersama amorphophallus, rafflesia, dan lainnya dikategorikan sebagai tanaman hias unik nan cantik.
 
Kantong semar tergolong ke dalam tumbuhan liana (merambat), berumah dua, serta bunga jantan dan betina terpisah pada individu yang berbeda. Tumbuhan ini hidup di tanah, ada juga yang menempel pada batang atau ranting pohon lain sebagai epifit.

Keunikan dari tumbuhan ini adalah bentuk, ukuran, dan corak warna kantongnya. Sebenarnya kantong tersebut adalah ujung daun yang berubah bentuk dan fungsinya menjadi perangkap serangga atau binatang kecil lainnya.


 

Nepenthes memang belum sepopuler tanaman hias lainnya seperti anggrek, mawar, dan sebagainya. Walaupun, namanya sudah dikenal di mancanegara bahkan beberapa negara telah berhasil membudidayakan, seperti Thailand dan Belanda, dan telah mendapatkan devisa yang cukup besar dari nepenthes, dinegeri asalnya Indonesia tanaman pemangsa ini, keberadaannya tidak ada yang memperhatikan, sayang sekali ternyata kita belum begitu perhatian dengan potensi daerah kita.


Sumber : 

Pirdot Tumbuhan Liar Obat Diabetes

Daun Pirdot Ramuan Obat Diabetes

Kalau Anda kebetulan bepergian ke daerah Tapanuli (Siborongborong, Pagaran, Tarutung, dan sekitarnya) atay ke daerah Toba  seperti Parapat dan Balige, di pinggiran sepanjang jalan lintas Sumatera itu Anda bisa melihat pohon Pirdot.

Pirdot, sebuah nama yang mungkin tidak pernah Anda dengar atau  sudah terlupakan oleh kita. Pirdot itu adalah nama tanaman liar yang tumbuh di dekat aliran air atau di tempat lembab/teduh. Pirdot berbentuk pohon, tetapi memiliki dahan yang gampang patah. Daunnya berukuran lebar dan memiliki dua sisi warna yang berbeda. Sisi daun bagian atas berwarna hijau, sisi daun bagian bawah berwarna kecoklatan.

Pirdot memiliki buah kecil yang jika sudah matang dapat dimakan. Buah yang matang akan berisi lendir bening dan biji-biji kecil halus (seperti biji dalam buah naga). Anak-anak muda di tanah Batak menyebut buah Pirdot ini dengan buah ingus (mommon) karena lendir yang ada dalam buahnya. Di Desa Girsang, pirdot ini sering disebut dengan garuan.

Pirdot, rasanya manis dan ada biji-biji kecilnya.
Juga makanan favorit parmahan.

Tanpa diduga ternyata daun Pirdot ini memiliki khasiat untuk mengobati berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang dapat diobati menggunakan daun Pirdot ini dan sudah banyak yang membuktikannya adalah penyakit diabetes (penyakit gula). Banyak orang datang dari kota ke daerah Girsang dan Sipangan Bolon (desa di seputaran Parapat) untuk  mencari tanaman ini. Tanaman ini  sangat jarang ditemukan karena hanya tumbuh di daerah-daerah tertentu. Beruntung sekali tanaman Pirdot ini banyak ditemukan di daerah Girsang Sipangan Bolon.

Cara menjadikan daun Pirdot ini menjadi obat. Pertama, daunnya harus dikeringkan terlebih dahulu. Rebuslah 7 lembar daun Pirdot yang telah kering tersebut dalam wadah yang berisi 3 gelas air. Rebuslah daun tersebut sampai air yang tersisa tinggal satu gelas, lalu dinginkan dan diminum. Lakukan 2 kali sehari, pagi dan sore. Dengan rutin mengkonsumsi air rebusan daun pirdot yang sudah dikeringkan, kadar gula dalam tubuh anda akan normal kembali. Jika kadar gula sudah normal, ada baiknya anda memperhatikan pola makan anda dengan mengurangi makanan yang mengandung gula. Selain memperhatikan pola makan, tetaplah rajin berolahraga.

Artikel ini berdasarkan cerita dari seorang penderita Diabetes yang menggunakan daun Pirdot untuk menormalkan kadar gula darahnya. Selain diabetes, pirdot juga berkhasiat untuk mengobati penyakit dalam lainnya. Misalnya kanker dan tumor. Tapi pastikan Anda mengambil daun Pirdot yang asli, sebab ada tanaman yang mirip juga dengan ini. Tanaman yang mirip ini disebut dengan "Bulung ni Motung" (Daun Motung). Daun Motung ukurannya lebih lebar dan buahnya menyerupai buah Kecapi (Sotul). Jadi jangan sampai salah ambil.


Sumber :
  • http://marisi-last.blogspot.com
  • http://tunasbaru2013.blogspot.com
  • http://www.parapatnews.com

Bangun-bangun

Manfaat Bangun-bangun
Berdasarkan berbagai literatur yang mencatat pengalaman secara turun-temurun dari berbagai negara dan daerah, tanaman ini dapat menyembuhkan penyakit-penyakit sebagai berikut :


  1. Sariawan. Lima lembar daun segar dicuci bersih lalu dibilas dengan air matang. Daun yang sudah bersih lalu dikunyah perlahan-ahan, airnya ditelan dan ampasnya dibuang.
  2. Demam. Daun segar 7 lembar dicuci bersih lalu dibilas dengan air matang, tumbuk sampai seperti bubur lalu diperas dan disaring. Airnya diminum dan ampasnya dipakai untuk menggosok badan.
  3. Asma dan batuk. Daun segar 10 lembar cuci bersih dan bilas dengan air matang, tumbuk sampai seperti bubur lalu diperas dan disaring. Air perasannya ditambah minyak wijen, minum.
  4. Batuk rejan. Biji jinten ¾ sendok teh digiling halus, lalu diseduh dengan ½ cangkir air panas, tambahkan 1 sendok makan madu, aduk sampai merata. Diminum selagi hangat 2 kali sehari.
  5. Sakit kepala. Daun segar dicuci bersih lalu dimemarkan, tempelkan di kepala dan pelipis.
  6. Rematik. Daun segar 10 lembar dicuci bersih lalu digiling halus, tambahkan air kapur sirih secukupnya dan diremas sampai merata. Bubur daun tersebut digunakan untuk melumas dan menggosok bagian yang sakit.
  7. Ayan. Daun jinten 30 lembar,ngokilo 10 lembar, lenglengan 25 lembar, sambiloto 40 lembar, meniran 8 sirip,gula enau 3 jari. Cuci danpotong-potong seperlunya lalu direbus dengan 4 gelas air bersih sampai tersisa 2 ¼ gelas. Setelah dingin disaring lalu diminum. Sehari 3 x ¾ gelas.
  8. Perut kembung. Daun 5 lembar, cuci tumbuk halus, seduh dengan ¾ cangkir air panas. Saring, minum
  9. Memperbanyak asi. Daun jinten dimasak dengan sop ayam. Makan seluruhnya.
  10. Aphrodisiak. Seluruh tanaman direbus bersama bahan lain.

Kandungan Kimiawi
Tumbuhan ini kaya dengan berbagai kandungan kimia yang sudah diketahui, antara lain: Daun : Kalium, minyak atsiri 2% yang mengandung karvakrol, isoprofil-o-kresoldan fenol.

 
Nama umum
Indonesia: Bangun-bangun, daun kucing, daun kambing
Inggris: Country borage, Indian mint, Mexican mint
Vietnam: Tan day la
Cina: Zuo shou xiang, yin du bo he, dao shou xiang
Jepang: Kuuban oregano

Kilas Kisah Lopian, Putri Raja yang Tewas di Pangkuan Ayah

Tugu Sisingamangaraja XII dengan latar Kota Tarutung. Disini pertama kali jenajahnya dimakamkan sebelum dipindahkan ke Balige.(By.Leonardo Joentak)


Satu abad lebih telah silam.Tanggal 17 Juni 1907 adalah hari bersejarah bagi orang Batak, dikaitkan dengan sejarah perjuangan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu (Raja Sisingamangaraja XII). Pada hari itu, di suatu tempat sepi di sekitar Pearaja, Sionom Hudon, Dairi, sejarah mencatat tragedi kematian Sisingamangaraja XII (SSM XII). Dua orang putranya yakni Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta empat orang panglimanya yang setia, ikut tewas pada waktu yang hampir bersamaan.

Dalam bingkai kisah tragis itu, anak perempuan SSM XII bernama Lopian (lazim disebut Putri Lopian) mengalami luka cukup parah terkena peluru senapan serdadu Belanda yang dipimpin kapten Christoffel. Saat itu Lopian masih berusia 17 tahun. Dia setia hingga akhir mengikuti ayahandanya ketika SSM XII diburu Belanda keluar masuk hutan belantara.

Meski dalam beberapa hal, kisah kematian SSM XII kadang ada selisih versi, namun secara umum merupakan gambaran historis tentang adegan klimaks yang amat dramatis dari seluruh mata rantai perjuangan SSM XII selama lebih kurang 30 tahun menentang Belanda.

Momentum pertempuran sengit di sekitar Pearaja, Dairi, adalah fakta sejarah dimana hampir seluruh sanak keluarga SSM XII turut terlibat secara frontal menghadapi kepungan tentara Belanda yang penuh nafsu membunuh. Berdasarkan sejumlah referensi seputar tragedi kematian SSM XII, detik-detik terakhir pada medio Juni 1907 itu, merupakan momentum sangat genting penuh ketegangan. Pada saat itu, SSM XII bersama isteri, anak-anak, para panglima dan sisa pasukannya, terlunta-lunta naik turun jurang, keluar masuk hutan, dalam kejaran tentara Belanda yang jumlahnya besar dengan kelengkapan senjata lebih modern.

Sore yang kelabu tanggal 17 Juni itu, agaknya sudah ditakdirkan sebagai ending perlawanan SSM XII. Dalam posisi terjepit oleh kepungan pasukan Christoffel, pasukan SSM XII dengan persenjataan kelewang, tombak, dan bambu runcing, benar-benar tak berdaya menghadapi hujan peluru yang dimuntahkan serdadu- serdadu Belanda. Patuan Nagari tewas tertembak di antara desing peluru yang tiada hentinya. Sejumlah sisa pasukan SSM XII juga jatuh terkapar saat mencoba melakukan perlawanan. Sementara itu Kapten Christoffel berseru, agar SSM XII menyerah dan supaya piso gajah dompak yang terkenal keramat itu diberikan. Tetapi SSM XII dari tempatnya berlindung menyahut tegas: “Lebih baik mati dari pada menyerah kepada penjajah”.

Pada saat bersamaan, terdengar jeritan Lopian putri sang raja, yang rupanya terkena tembakan. Seketika SSM XII terkesima, melihat putrinya tercinta rubuh bersimbah darah di atas rerumputan. Dengan piso gajah dompak terhunus di tangan, SSM XII mendekati Lopian dengan langkah gontai, dan langsung memangkunya. Amarahnya meluap. Hatinya luluh melihat putrinya sekarat diterjang peluru penjajah. Namun saat itulah SSM XII tersentak, sadar, bahwa ia berpantang kena darah. Tubuhnya digambarkan lesu, dan kesaktiannya yang legendaries itu seakan pudar. Lalu SSM XII berbisik:” Saatnya sudah tiba…” Tak berapa lama kemudian, beliau juga rubuh oleh tembakan yang dilepas Christoffel dalam jarak tak terlalu jauh. Melihat hal itu, para panglima dan pengikut SSM XII bagai terpana. Sulit mempercayai baginda bisa dilukai peluru.

Akan halnya Lopian, keadaannya sekarat akibat peluru yang mengenai ulu hati. Lalu, rentetan kisah selanjutnya menyebut Lopian sempat ditawan Belanda. Tapi selama ditawan, Lopian memperlihatkan daya tahannya yang luar biasa menentang Belanda. Lopian dilukiskan tidak merintih atau mengeluh dengan luka yang dideritanya.

Adniel Lumbantobing seorang pemerhati kisah perjuangan Sisingamangaraja XII menulis sebuah buku “ Sisingamangaraja XII” pada tahun 1967. Buku itu cukup detil melukiskan perjuangan SSM XII, walaupun rangkaian kisahnya ditulis dengan sederhana. Menurut buku itu, Lopian yang sempat ditawan Belanda, kemudian dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai Pancinoran, di kaki gunung Batu Gaja, Dairi. Tidak diceritakan, siapa yang kemudian mengambil mayat Lopian.

Sementara Prof Dr WB Sijabat dalam buku telaah ilmiahnya “ Ahu Sisingamangaraja” melukiskan, Lopian sosok putri yang setia hingga akhir mendampingi ayahnya dalam kancah perjuangan yang meletihkan. Kendati sebelum kematiannya SSM XII telah memerintahkan seluruh keluarga mencari tempat perlindungan yang aman, tapi Lopian bersikeras ingin mendampingi ayahnya. Itu sebabnya, selama detik-detik perburuan Belanda terhadap SSM XII, Lopian ikut bergerilya mendampingi, dan ikut melakukan perlawanan.

Cuplikan sejarah ini saya kutip berkaitan dengan peringatan Hari Wafatnya Raja Sisingamangaraja XII tanggal 17 Juni 2007 ini. Meskipun Lopian dalam kisah perjuangan SSM XII mungkin ditempatkan pada posisi “figuran”, tapi sesungguhnya perannya cukup strategis dan bermakna historik tersendiri dalam mata rantai perjuangan SSM XII secara lokal maupun regional. Kehadiran dan peran Lopian memang tidak diletakkan pada posisi sentral figur pada setiap penulisan sejarah perjuangan SSM XII. Peran ketokohan dan kejuangan lebih condong pada kedua putra SSM XII, yakni Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Mungkinkah karena Lopian seorang anak perempuan yang porsinya dinilai tak begitu besar dalam ruang lingkup perjuangan itu? Namun bila dicermati, posisi Lopian sesungguhnya mencerminkan sebuah nilai penting, terutama dikaitkan pada momentum akhir kehidupan ayahnya. Paling tidak, momentum akhir itu merefleksikan interaksi bathin seorang ayah dengan seorang anak, atau sebaliknya. Ternyata di saat paling krisis sekalipun, kepentingan (keselamatan) diri sendiri terkadang bisa menempati prioritas kedua, ketika kepentingan lain ( kesetiaan pada perjuangan), menjadi prioritas utama.

Justru itu, ketika beberapa waktu lalu muncul suara yang mengusulkan agar Lopian dinobatkan menjadi “pahlawan nasional” seperti juga ayahnya, banyak yang menyahuti usulan itu dengan respons positif. Sebuah tulisan di salah satu media terbitan Medan, menyatakan Lopian lebih kurang sama dengan Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Lopian dalam konteks perang SSM XII, bukan sekadar penonton atau pelengkap penderita. Dia ikut berada di garis depan, ikut bergelut dengan kemelut, bergerilya di tanah penuh duri dan hutan belantara. Lopian tahu, posisinya tidak menguntungkan saat peluru tajam berdesingan di kiri kanan dan di atas kepalanya. Lopian juga mungkin tahu, dirinya menjadi beban tersendiri bagi ayahandanya. Tapi Lopian telah membuat satu keputusan penting: apapun yang terjadi, ingin tetap bersama ayahnya.

Kadar kejuangan Lopian mungkin belum bisa disetarakan dengan Cut Nyak Dhien di Aceh. Sebab, dalam perang Aceh, Cut Nyak Dhien berposisi sebagai figur sentral, langsung memimpin di lapangan. Sedang Lopian boleh disebut, posisinya mungkin cuma “kebetulan” ikut bersama rombongan SSM XII di medan juang. Tapi paling tidak, dari sudut kadar kejuangan dan semangat anti kolonialisme, nilai-nilai yang terkandung pada jatidiri Cut Nyak Dhien dan Lopian, relatif sama. Mereka sama-sama berjuang, bergerilya, menderita di arena, bertekad sama, dan mati untuk tujuan yang sama.

Nilai kejuangan dan kepahlawanan SSM XII telah dibakukan pemerintah Indonesia, dengan menabalkannya menjadi Pahlawan Nasional. Namanya pun ditabalkan menjadi nama jalan di kota-kota besar maupun kota kecil. Bahkan gambar SSM XII yang direka pelukis Agustin Sibarani sudah pernah menghiasi lembaran uang RI tukaran Rp 1.000 (seribu rupiah). Sementara itu masyarakat Batak juga menabalkan nama besar Sisingamangaraja XII dengan ragam apresiasi. Ada yang menabalkannya menjadi nama universitas, ada yang menabalkannya dalam bentuk kelembagaan seperti Lembaga Sisingamangaraja XII di Medan, Sumut, walaupun kurang jelas apa manfaatnya , untuk apa, untuk siapa, dan sudah bagaimana eksistensinya saat ini.

Penghargaan terhadap nama Patuan Nagari dan Patuan Anggi, dua putra SSM XII juga sudah ada, seperti pembuatan nama jalan di Pematang Siantar, Sidikalang, Balige, Tarutung, dan kota lainnya di Tapanuli. Demikian halnya nama jalan Putri Lopian di Desa Aek Siansimun Tarutung. Itu menunjukkan, bahwa nilai kejuangan Lopian juga diakui orang Batak. Kalau ada yang tidak mengakui, itu pasti karena tidak tahu siapa Lopian dan kenapa dia tewas. Kebanyakan orang mungkin hanya sekadar tahu, bahwa Lopian adalah putrid Sisingamangaraja XII. Tidak dalam konteks kejuangan yang lebih detil.

Lalu, belakangan ada yang melontarkan pertanyaan: mengapa kisah perjuangan Sisingamangaraja XII tidak diabadikan dalam sebuah film kolosal seperti halnya film yang dibuat tentang Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teuku Cik Ditiro, dan lain-lain. Bahkan kisah Lopian, tak kurang menariknya bila diuntai dalam sebuah novel yang kerangkanya adalah kisah perjuangan SSM XII.

Nama Sisingamangaraja XII, sudah menjadi salah satu brand Tano Batak seperti halnya Dr IL Nommensen. Dua nama besar itu berkiprah dalam konteks berbeda tapi berskala relatif sama. Di Sumut ada Universitas Nommensen dan ada Universitas Sisingamangaraja. Sejauh mana orang-orang di balik penggunaan nama itu telah membuahkan sesuatu yang “besar” untuk kepentingan Tano Batak, sebagai basis perjuangan kedua pemilik nama besar itu, masih perlu dikaji dan dicermati.

Kita tidak ingin cuma apresiasi yang sifatnya monumental. Kita ingin, agar mereka yang kini telah berhasil “menimba” fulus dari nama-nama besar itu, membuahkan arti lebih luas bagi Tano Batak, minus kepentingan pribadi semata. Diresmikannya museum nasional Sisingamangaraja di Bakara baru-baru ini memang sudah merupakan satu langkah yang tepat. Itu artinya, Bakara sebagai pusat kerajaan Sisingamangaraja kita arahkan sebagai salah satu situs kesejarahan perjuangan nasional. Namun lebih dari itu, adalah wajar ditindaklanjuti, aspirasi keturunan Sisingamangaraja, bagaimana supaya semua asset historis raja itu (piso Gajah Dompak, stempel/cap, dan lain-lain) yang saat ini berada di negeri Belanda, dapat dikembalikan ke tempat asalnya. Hal itu bisa terealisasi, tergantung sejauh mana pemerintah Indonesia merespons melalui berbagai lobi, termasuk lobi-lobi diplomatik.

Sumber : http://sejarah.kompasiana.com

CITA-CITA NI HALAK BATAK

Cita-cita ni Halak Batak dalam Falsafah Hidup Bangso Batak "Dalihan Na Tolu" :

1. Marhagabeon = asa dapot i, ingkon Somba marhula-hula ( Debata na ni ida ), marsomba jari-jari sampulu pasampulusadahon simajujung.

Implementasina = pihak hula-hula ingkon taokkuhon do nasida panuturi, silehon pasu-pasu ( panungganei = tunggane ) tu pihak Boru, jadi ingkon di toru do tangan ni Boru mangarangguthon pasu-pasu i.

2. Hamoraon = asa dapot i, ingkon elek ma marboru ( boru silehon tumpak, pansalongan na lomaK, pangurupi di angka ulaon = sipusuk jambulan).

Implementasinya = pihak hula-hula ingkon malo mambuat rohani boruna, ingkon lambok mandok sidohononna,molo tungpe mardandi boru i ingkon dielek do sampe boi mengkel jala las rohana, pantang lalu tangan tu boru, alani i buas ma boru i mangalehon tumpakna/siluana.


3. Hasangapon = asa dapot i ingkon manat mardongan tubu.

Molo adong siulaon naborat, nabalga, naporlu sahali, ingkon jumolo do dipabotohon, marpanungkun tu dongan tubu.

Molo nunga satolop dongan tubu gabe tubu ma pos ni roha, jala tulus ma sude sangkap ni roha dohot sangkap ni pingkiran laho mangulahonsa. Molo dung tulus adong ma hasangapon = prestasi dan harga diri.

Implementasinya = ingkon adong prinsip piso manaba bulu, tangke manaba soban, monang mangalo musu alai ingkon talu mangalo dongan.

Jadi maralohon dongan tubu ingkon olo talu, unang sai naeng monang. Unang pajolo gogo papudi uhum ( pamer adu fisik = anggar jago, pada hal resiko pelanggaran hukum ( hukum adat ) tidak diperdulikan/ diabaikan.

4. Hasortaon = godang ale-alena (paopat sihal-sihal ). Asa dapot i, ingkon pantun marpangalaho, lambok mamrpangkuling, adat martutur di pardonganon ( pergaulan ) siganup ari.

Implementasinya = ingkon adong prinsip : " galang do mulani harajaon, bulus mulani dame, dongan sahuta pamintoran, hata torop sabungan ni hata, unang masijujuran di nahurang,na nilehon ni tangan siamun ndang porlu botoon ni tangan sihambirang.
Tung holong ni roham do ninna alm. Nahum Situmorang.

Semoga ada manfaatnya untuk kita semua, GBU.


By. : Drs Jekson Ltoruan

Baca juga artikel tentang