Sikap Hidup Orang Batak (Kearifan-kearifan Lokal)

Tiap bangsa atau suku bangsa tentu memiliki falsafah atau pandangan hidup (way of life) yang menjadi landasan idiel yang dipakai untuk menjadi pedoman hidup bersama. Falsafah hidup itu adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dianut, yang akan dijadikan dasar sekaligus tujuan yang bersangkutan dalam menentukan arah hidup mereka.

Dalam kosmologi Jawa, misalnya, dikenal ada dua dunia, yakni jagad cilik (manusia/individu) dan jagad besar (alam semesta). Kedua jagad tersebut diharapkan dapat bersimbiosis-mutualis (saling menghidupi) dalam suasana damai yang harmonis. Dalam pakeliran wayang hal itu terlihat pada gunungan, yang mengandung arti bahwa alam semesta dan mahluk hidup yang hidup di dalamnya dapat saling berinteraksi dalam suasana harmonis, selaras dan sehati.

Tak terkecuali dengan suku Batak yang konon terdiri dari 479 marga Batak. Mereka memperoleh warisan dari leluhur nilai2 yang dapat menjadi panutan dan tuntunan hidupnya. Hanya sayang, literatur tentang budaya Batak boleh dibilang tidak terlalu banyak, terutama jika dibandingkan dengan literatur budaya Jawa. Orang mengetahui nilai budaya Batak yang diwariskan secara turun temurun, biasanya dari tradisi lisan saja.

Dalam kondisi demikian, tidak heran jika pandangan streotip terhadap orang Batak tumbuh dan berkembang secara simplistis. Orang Batak disimpulkan sebagai berwatak keras, arogan dan kurang toleran, terutama jika dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang mereka geluti yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat pada umumnya.

Dalam kenyataannya, padahal, tidak selalu demikian. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki posisi penting di negeri ini.


Sejarah Suku Batak

Leluhur orang Batak sering juga disebut Si Raja Batak. Menurut Sitor Situmorang, sastrawan Indonesia terkemuka, asal-usul orang Batak dan relasinya dengan langit berdasarkan skema:


Putra Batara Guru ---> Ihatmanusia ----> Engbanua -->Si Raja Bonang2 ----> Tantan Debata ----> Si Raja Batak. 

Lima generasi keturunan Putra Batara Guru dilukiskan sebagai leluhur berbagai suku bangsa di  sekeliling Danau Toba. Si Raja Batak sendiri dikaitkan dengan sejarah pemukiman pertama di kaki Pusuk Buhit yang dihayati sebagai pusat wilayah Toba Na Sae.

Versi lain menyebutkan, Si Raja Batak diperkirakan hidup sekitar 750 tahun yang lalu. Pertimbangannya, jika ditarik garis keturunan dari Si Raja Batak hingga kini sudah mencapai 30  generasi, sedangkan usia satu generasi diperkirakan 25 tahun.

Si Raja Batak, konon, anak raja dari Kerajaan Tulangbawang, yang kini masuk wilayah Lampung Utara. Karena ekspansi Kerajaan Sriwijaya, putra raja ini kemudian melarikan diri disertai beberapa pengikutnya ke utara dan menetap di bukit Pusuk Buhit di bagian barat Danau Toba. Di sanalah ia hidup secara turun temurun hingga keturunannya yang sudah menyebar ke seluruh dunia.

Dari keturunan Si Raja Batak, lahirlah garis keturunan yang merupakan ikatan pertalian darah yang kuat dan saling mengikat yang dikenal dengan istilah Tarombo (silsilah, garis keturunan, sistem marga atau sistem kekerabatan).

Jika dicermati, asal muasal marga2 Batak adalah Pulau Samosir di Danau Toba. Tak heran jika desa2 di sana memiliki nama sesuai dengan nama marga2 yang ada (Silalahi, Sidabutar, dsb).

Sebagai suku bangsa yang menganut sistem patrilinial, oleh penerusnya tarombo selalu diperbaharui dengan cara mendaftarkan/memasukkan nama anak2nya (khususnya lelaki) sebagai garis keturunan berikutnya. Dari level keturunan ini pula (dalam budaya Batak kerap juga disebut nomor), seseorang bisa memposisikan dirinya terhadap orang lain. Artinya, dengan tingkatan tersebut ia bisa menyebut/memanggil seseorang dengan sapaan tertentu.

Dalam skop sederhana, sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, ciri2 pemerintahan juga sudah kita temui pada masyarakat Batak. Selain wilayah, kepala pemerintahan maupun rakyat, sudah terdapat pula struktur pemerintahan. Lihat, misalnya, di lekuk Toba sudah ditemui yang disebut bius (kumpulan puluhan kampung) yang dipimpin seorang raja dan beberapa wakilnya. Di bawah bius, ada beberapa horja yang meliputi beberapa kampung (huta). Demikian seterusnya ke bawah, masing2 terorganisasi satu sama lain dalam garis hirarki yang jelas.



Falsafah Hidup Orang Batak

Leluhur orang Batak meninggalkan falsafah hidup yang hingga kini masih menjadi panduan hidup bersama. Falsafah hidup orang Batak yang dikenal selama ini adalah boraspati (cecak). Falsafah yang bisa dipetik dari cecak yakni dalam kondisi/posisi seperti apa pun (di bawah, di atas atau di samping), cecak selalu menempel/lengket dengan habitatnya.
Tafsir boraspati, jika demikian, orang Batak (harus) mudah beradaptasi dan akan disenangi oleh lingkungannya. Dalam realitasnya, hal itu terpantul lewat berbagai aspek kehidupan orang Batak. Perhatikan kala mereka merantau, mereka selalu berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya dan hidup berdampingan dengan prinsip saling menghormati.

Falsafah boraspati ini kemudian dilengkapi dengan 'juklak' (petunjuk pelaksanaan) yang lazim disebut dengan Dalihan Na Tolu (Tungku yang Tiga). Secara fisik, tungku yang dimaksud adalah tungku yang terdiri dari tiga batu simetris dan kokoh untuk menopang periuk nasi.

Ketiga tungku tersebut harus saling dukung dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tiap tungku punya fungsi dan makna sendiri. Dalam kekerabatan Batak, tungku pertama disimbolkan sebagai tubu (teman semarga), tungku kedua hula2 (jalur/pihak dari istri), dan tungku ketiga boru (pihak yang menikahi anak perempuan). Dengan kata lain, mereka adalah Raja ni dongan tubu, Raja ni hula2, dan Raja ni boru. Mereka harus hidup saling bekerjasama (saling menolong) meski dengan cara yang berbeda.

Sikap terhadap Raja ni dongan tubu harus manat (hati2). Perilaku tidak boleh menyinggung mereka. Harus saling bertanya dan mengingatkan. Sikap tersebut dalam tamsil Batak sering dinyatakan sebagai "lembut bak daun pisang, dukung mendukung bagai talas di tebing".

Sementara itu sikap terhadap Raja ni hula2 adalah somba (hormat), dalam arti sepenuh hati menghormati pihak mertua, mengingat dari pihak merekalah diperoleh keturunan. Di Batak sikap terhadap hula2 ini sering diibaratkan sebagai "di depan harus dikejar, di belakang harus ditunggu".

Sedangkan sikap terhadap Raja ni boru harus elek (membujuk). Pihak boru tidak boleh pulang dengan linangan airmata sewaktu meninggalkan hula2nya. Artinya, jika toh ada kekurangan, terimalah ia apa adanya, kemudian dibimbing dan diberi nasehat agar ia hidup bahagia.


Relevansi dengan Dunia Kerja

Dalam kehidupan keseharian terutama dunia kerja, falsafah hidup orang Batak juga dapat diterapkan. Misalnya sikap terhadap teman sekerja, mereka ibarat dongan tubu kita. Kepada mereka kita harus saling bertanya, tukar menukar informasi, saling bekerjsama dan saling menghormati.

Karenanya kita harus berusaha menempatkan diri sebaik mungkin agar mereka tidak tersinggung karena perilaku kita, yang pada gilirannya bisa mengganggu ketenangan kerja.

Bagaimana sikap kita terhadap atasan? Kita harus bersikap sebagaimana kepada hula2. Kita harus bersikap hormat yang tulus dan tidak boleh membantah/melawan. Dalam pekerjaan kita harus bisa mengimbangi apa yang menjadi keinginan atasan kita.

Sikap terhadap bawahan bisa diibaratkan sikap terhadap boru. Kita harus bersikap membujuk dan membimbing. Kita juga harus bisa menampung keluhannya dan menerima kekurangan/kelemahannya. Jika bawahan salah, misalnya, kesalahan mereka tidak harus diungkap semua atau sekaligus. Kita harus bijak dan dapat berperan sebagai guru.


Kesimpulan

Masyarakat Batak, sebenarnya, mempunyai falsafah hidup yang luhur/tinggi, terutama dalam memandang hidup dikaitkan dengan realitas lingkungan sekitar. Falsafah Boraspati dan Dalihan Na Tolu --meskipun sangat berarti--, sebenarnya merupakan sebagian kecil dari kekayaan budaya Batak lainnya.

Masih banyak peninggalan leluhur lainnya yang layak dipelajari, seperti huruf Batak (yang memiliki keunikan tersendiri), filosofi rumah adat Batak, pustaha Batak, kalender Batak, tenun ulos, dan beberapa bentuk patung yang memiliki makna filosofi tersendiri di dalamnya.

Setidaknya, melalui tulisan singkat ini, beberapa kandungan kekayaan budaya Batak sudah mulai terungkap.

Tak kenal maka tak sayang.
Maka kenalilah dan sayangilah mulai sekarang

PANTUN BATAK TOBA

Tujuh Pantun Batak Toba
Ada tujuh kelompok Pantun Batak Toba, yaitu:
  1. Umpasa
  2. Umpama
  3. Pasa-pasa
  4. Anian
  5. Udoan
  6. Umpama ni Pangandung
  7. Umpama ni Ampangardang
  

Berikut ini penjelasannya secara singkat.

1. UMPASA:

Umpasa adalah pantun yang sarat dengan keinginan untuk mencapai sesuatu atau Doa Restu. Tidak asal enak di telinga atau menggelitik rasa humor
semata. Setiap baris bahkan setiap kata mengandung makna mendalam dan
saling terkait satu sama lain. Contohnya:

Bintang ma narumiris, Tu ombun na sumorop
Anak pe antong riris, Jala boru pe antong torop

Martantan ma baringin, Mardangka hariara
Horasma tondi madingin, Matankang ma juara

Pirma toras ni pongki, Bahul-bahul pansalongan
Pirma tondi muna, Tutambana pangomoan

Andor halumpang, Togu-togu ni lombu 

Nang-nang ma hamu saur matua, Pairing-iring anak dohot boru, Sahat tu namarpahompu

Binanga siporing, binongkak ni tarabunga
Muli tu sanggar ma amporik, Muli tu ruang ma satua
Sinur manapinahan, tugabena ma naniula

Dao alogo laut, siboan haba-haba
Mangullus alogo tambun, Asa tangkas na dibanua

“Satua”
artinya tikus, adalah merupakan kata halus dari “bagudung “ yang tidak
sopan kalo dipakai dalam pembicaraan sakral. “Muli” di sini bukanlah
berarti “kembali” tetapi kata halus dari “mate” atau “mati”. Kata-kata
yang tidak pantas (hodar) tidak etis diungkapkan di depan pembicaraan
sakral, seperti: babi tidak cukup halus jika diganti dengan “pinahan
lobu” tetapi “siparmiak-miak” atau “lomuk” yang arti sebenarnya “lemak”.
Umpasa sangat menghindari kata-kata yang tidak pantas, a.l. singke,
sipasing, situma dan sidohar adalah nama-nama binatang yang sering
dijumpai di sawah dan sering dimakan, namun tidak pantas disebutkan
dalam umpasa.

Kata yang dipakai dalam umpasa disebut kata
“par-Debataan” atau “Bahasa Dewa”, karena umpasa adalah doa restu yang
disampaikan oleh manusia tetapi pengabulannya semata-mata tergantung
Tuhan. Oleh karena itu perlu dilandasi bahasa dan sikap yang sangat
sopan dan sakral.

Berikut ini umpasa yang tidak pantas dikumandangkan yang disebut “na so marpaho”:

Eme sitamba tua ma, Parlimggoman ni siborok
Debata do na martua, Horas ma hamu di parorot

Tingko ma inggir-inggir, Bulung nai rata-rata
Hata pasu-pasu i, Pasauthon ma namartua DEBATA

“Siborok”
tidak pantas disebut karena merupakan sesuatu yang belum jadi atau
peralihan atau bentuk sementara dari telur katak menuju anak katak.
“Inggir-inggir” adalah semacam buah semak yang asam dan buahnya
kecil-kecil yang mengandung makna tidak berharga. Oleh karena itu, kedua
kata tersebut tidak relevan dengan permohonan doa restu yang lajimnya
memohon sesuatu yang “jadi” dan “berarti”. Umpasa yang memakai kata-kata
yang tidak pantas seperti di atas disebut “Umpasa Na So Marpaho”.

“Danggur-danggur”
(batu untuk dilempar) , “sibonsiri” (pemicu), “habang” (terbang),
“mumpat” (tercabut), “mabaor” (hanyut), “marbonsir” (sebab) adalah
contoh kata-kata yang tidak etis dalam umpasa. Misalnya:

Antus nabegu soro ulu balang.
Lali masiturbingan, Manuk masisoroan
Mata masi urbitan, Roha masibotoan

Ini kasus anarkis yang pernah terjadi karena memakai kata “danggur-danggur”
dalam umpasa. Alkisah pada satu acara “pangarapotan”, setelah selesai
makan, “dongan tubu” tuan rumah mengucapkan begini ke tuan rumah:

Raja panungkun (Jubir Penanya) : ‘Manghatai ma hita anggi doli’ (Let’s talk young brothers)
Raja pangalusi (Jubir Penjawab) : ‘Manghatai ma hita tutu haha doli’ (Go ahead old brothers)
Raja panungkun : ‘Danggur ma danggur barat tu bona ni sanduduk.
Nunga bosur namangan sagat marlompan juhut,
hata ni panggabean hata ni parhorasan,
tangkas ma di paboa suhut’.

Secara spontan salah seorang dari pihak tuan rumah berdiri dan menghardik
Jubir Penanya: “Kami menyambut kalian dengan hormat, menghidangkan
makanan dengan baik, menghidangkan minuman yang pantas, masak kalian
maun membawa “danggur-danggur” (batu untuk melempar) kepada kami?”.

Hal ini membuat acara menjadi panas menuju anarkis, dan terpaksa salah
seorang dari pihak Jubir Penanya harus mendinginkan suasana dengan
permohonan maaf yang sempurna melalui umpasa untuk mengganti Jubir
Penanya tadi:

Gala-gala sitelluk telluk mardagul-dagul.
Nunga talsu hata i, nanget ma i niapul-apul.
‘Di jolomuna ma i nuaeng pinature, huganti hami pe parhata tiar, jala
partarias namalo, tu duru ma anggi doli hata mabuk, tu tonga-tonga ma
hata uhum’

Jaman dulu sangat tegas sikap orang Batak terhadap
tata cara melaksanakan adat. Jika ada yang menjalankannya dengan
sembarangan – termasuk dalam mengungkapkan umpasa – biasanya ada “Raja  Paminsang” (Tokoh Penegur) untuk meluruskannya. Jaman sekarang orang  sudah segan untuk menegur orang lain, sehingga berlarut-larut “Umpasa Na So Marpaho” pun menjadi sesuatu yang biasa.


2. UMPAMA

Umpama adalah perumpamaan atau peribaratan. Semua kata bisa dipakai, kecuali kata-kata kotor dan porno. Misalnya:

Manuk ni pea langge, Hotek-hotek lao marpira
Molo sirang namaraleale, Songon namatean ina

Tampunak sibaganding, Di dolok pangiringan
Horas do hita sudena, Asal masipairing-iringan

Habang binsakbinsak, Tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak, Ai idope na huboto

Marsambilusambilu marsambolasambola
Lambok hata ni begu risi hata ni jolma
Mardila ni palait dila ni pamolamola
Didok naso tutu diajuk naso binotona
Patar marhata tingkos holip maroharoha
Sipalua anak ni babi pamasuk aili tu huta.

Biasanya umpama diungkapkan pada acara-acara formal seperti rapat, “marria”, atau sewaktu laki-laki melamar perempuan. Tujuannya adalah supaya lebih  enak didengar dan lebih mudah dipahami maksud yang akan disampaikan.
 
Umpama bukanlah “Doa Restu” seperti umpasa.


3. PASA-PASA

Pasa-pasa adalah pantun yang bertujuan untuk mengutuk seseorang atau caci maki (sumpah serapah). Misalnya:

Pat ni lote tu pat ni satua, Mago ma pangose horas na niuba

Batu nametmet tu batu nabolon, Parsoburan ni sitapitapi
Suda na metmet suda nabolon, Unang adong siullus api

Dos do sanggar dohot tolong,
Dos do parmangmang dohot panolon

Sai sarion ma i antong di bonana,
Jala ranggason ma antong di punsuna
Sai unang ma antong idaonna rupa ni arta
Molo dilatehon arta ni so umboto sala

Bila adat dan hukum setempat tidak dapat menyelesaikan masalah, maka Raja Adat menghukumnya dengan pasa-pasa atau kata-kata kutukan. Jika
pasa-pasa tidak juga mempan, maka yang lebih tinggi dari pasa-pasa  adalah “Gana Sirais” dan “Gana Sigadap”. Di Jawa dikenal dengan “Sumpah
Pocong” atau “Sumpah Mati”.


4. ANIAN

Anian  artinya pantun bersayap. Diungkapkan untuk mengungkapkan isi hati atau  tujuannya di balik pantun tersebut. Kadang didasari filsafat, tapi
sering juga hanya sekedar pantun enak di kuping saja. Misalnya:

Ganjang bulung ni bulu, Tingko bulung ni soit
Denggan hata tu duru, Di bagasan marpanggoit

Di robean pinggol tubu,
Dinahornop diparnidai

Tanduk ni ursa mardangka-dangka
Tanduk ni belu margulu-gulu salohot
Nangpe namarpungui sabungan ni roha
Pamalo-malohon do angka na so dohot

Penjelasan lain tentang “Anian”. Seorang bawahan telah melakukan tanggung jawabnya dengan benar sesuai dengan kompetensinya. Tapi Sang Bos selalu saja  menyalahkannya dan menganggap bawahannya tersebut tidak becus. Sang Bos  yang berperangai begitu disebut “Nasimaon”, sedang bawahannya yang  bernasib malang itu disebut “Na So Maranian”.


5. UDOAN

Udoan adalah pantun untuk mengungkapkan penderitaan yang luar biasa. Ibarat  prosa “Tak Kunjung Dirundung Malang”. Atau bagaikan kisah Nabi Ayub
(Panurirang Job). Misalnya:

Sinuruk simarombur, Di tingki ngali ni ari
Taonon nama sudena i, Nunga ro soroni ari

Nunga tunduk baoadi, Songon lombu jailon i
Songon anak ni manuk, Nasiok-siok i

Ndang be tarrarikkon, Bulusan ma nirogohon
Ndang na tarandungkon, Bulusan ma hinasiphon

Bulan sada bulan dua, Ujung taon bulan hurung
Gabe dongan do malua, Gabe iba do tarhurung


6. UMPAMA NI PANGANDUNG

Pantun jenis ini biasanya dilantunkan pada saat menangisi jenazah orang mati.  Ratapan atau tangisan. Konon orang Batak tidak pintar menyanyi tetapi
sangat piawai meratap (‘mangandung’). Misalnya:

Nunga songon jarojak tarunjal, Songon tandiang hapuloan
Binahen ni sitaonon, Na so ada tudosan

Nunga tunduk, Songon lombu jailon
Songon anak ni manuk, Na so tumanda eatan

Jagaran hundul, Songon panghulhulan
Jagaran jongjong, Songon pangunggasan

Sungkot so na ginjang ahu, Ponjot so nabolon i
Aut binahen ni ginjanghu, Boi do paunduhonhi
Aut binahen ni bolonhu, Boi do pajorbingonhi
Ponjot ma pangarohaingki, Di si ulubalangari

Dari pantun ratapan yang dikumandangkan, kita dapat menebak apa yang sedang  menjadi pergumulan dalam diri yang meratap atau bagaimana hubungannya  dengan yang ditangisi atau keluarga yang ditangisi.

Pada jaman dulu ada namanya “Upa Pangandung” atau Upah Peratap. Seseorang yang  terpandang kadang mengundang orang ramai dan mempersilahkan peratap  (bukan penyanyi) untuk mengungkapkan riwayat hidup orang kaya tersebut dengan lantunan pantun ratapan. Jika pantun tersebut mengena di hati sang orang kaya, maka sang peratap diberi “Upa Pangandung”.

Sewaktu saya masih kecil di Siborongborong, ada nenek tua yang saya panggil
Ompung yang pintar meratap. Setiap bicara sama siapa pun selalu dibumbui
dengan ratapan yang dilantunkan seperti bernyanyi-nyanyi kecil. Merdu sekali!


7. UMPAMA NI AMPANGARDANG:

Ampa  artinya bijak. Ardang sama dengan sanjak. Ampangardang berarti Pelantun  Sanjak Bijak. Biasanya dilantunkan oleh para lelaki untuk merayu
perempuan pujaan hatinya. Enak didengar. Konon Ampangardang yang piawai
dapat membius kekasihnya dengan pantun sehingga terkulai ke pangkuannya.
Selanjutnya…terserah anda!

Bulung hariara, Marpitor-pitor ho naarian
Boru ni datulang, sian dia ho narian

Ndada sian dia, sian pansur paridian
Paias-ias bohi mandapothon si pariban

Naung sampulu sada, Jumadi sampulu dua
Boruni datulang, Beta hita mangalua

Lua-lua sadari, Bahen hita muba-uba
Riburpe onan pasar, Rumiburan hita nadua

Ansingsing ansising, Manang imbalo-imbalo
Padenggan parhundulmu, Nunga ro manopot ho

Nunga limut-limuton, Pansur so pinaridian
Nunga lungun-lungunan, Si boru so pinangkulingan

Umpama
Ni Ampangardang ini banyak juga ditemui di India. Tentu saja dalam
bahasa mereka. Mungkin itu sebabnya orang Batak senang sekali menonton
film India. Ada lagu khusus yang menuturkan tentang cewek India,
judulnya “Jamila” (bukan Wulan Kwok):

O…da Jamila, da Jamila, Bintang film India
Boru ni Kalifah, Parumaen ni Pandita
Ai tung godang do halak gila, Dibahen ho
O..Jamila, O…Jamila

Pasahat Ulos Tondi atau Mambosuri, atau Mangirdak tu Boru

Adat do pasahat ulos Tondi atau mambosuri atau Mangirdak Boru na sedang denggan pamatangna managam haroan nauli dibuhabajuna.

Tujuan utama adat on ima dalan martangiang tu Tuhanta asa anggiat margogo jala horas BORU i di na laho managam na di bortian.

Dumengganan ma jolo dipasahat ulos tondi i asa marsipanganon, ala na pasahat ulos tondi ido naumporlu jala ingkon ido jumolo.

Diparade parboru hian ma ulos Ragidup na uli na nirasian, alai molo ndang dapot be i boi ma ulos bintang maratur.

Tatacara :

 
Diboan Parboru ma pinggan pasu na marisi indahan las dohot 3 ihan ( Boi do Ikan Mas nuaeng on ) jala na umbalga ma ditonga-tonga dipasahat ma ( ditiop be topi ni pinggan i ).

On ma inang boru hasian dohot hamu amang Hela, sipanganon na hupasahat hami gabe upa-upa ni badan muna dohot tondi muna dalan pasu2on ni Tuhanta. Sai saut jala tulus ma pinarsinta ni rohanta tu Tuhanta, Sai dao ma sahit jala dibagasan hahipason ma hamu paimahon haroro ni na di bortian, sai dipargogoi Tuhanta ma ho inang marorot pasupasu ni Tuhanta naung sahat tu hamu. Indahan las...las m aroha ni badan muna nang tondi muna, dengke simudur-udur dengke sahat...asa mudur-udur hamu dohot helakku masihaholongan jala sahat na tarparsinta horas nang dibortian... Botima.

Dipasahat amanta-inanta i ma ulos herbang i laos didok, 

on ma inang ulos tondi parhitean sian Tuhanta gabe ULOS MULA GABE ma on di hamu boru dohot hamu hela, sai ulos mangulosi anak dohot boru ma on di hamu, sahat ma pasu2 na sian Tuhanta marhite basa-basaNa managam haroan nauli haroan nadenggan dipargogoi hamu marurat tu toru marbulung tu ginjang. 
Tu Lae-Ibotonami (orangtua Hela) dohonon ma : 
Naung rap manjalo ma hamu lae ito dengke saur i asa anggiat saur hamu maulibulung manggomgom parumaen muna jala saur nang pasu2 ni Tuhanta jaloonta tujoloan on. 
Tu na marhaha-anggi dohonon ma :
sitorop dangkana sitorop rantingna rimbun nang bulungna...torop ma hahana, torop anggina torop maribur ma nang boruna. 
Asa dohonon ma songon nido ni situa-tua :
  1. Sajongkal urat ni ri tolu jongkal urat ni singkoru.
    Ulos mula gabe na hupasahat hami sai saur ma i di hamu mangulosi anak dohot boru
  2. Takki ma ualang galinggang jala galege, sai tubuan anak ma hamu na gabe ulubalang jala borumuna par Mas jala par EME
  3. Tubuan lata tubuan singkoru solotan bunga-bunga, tubuan anak tubuan boru ma hamu donganmuna sahat tu na saur matua
  4. Sahat solu tinogu niholena tu bontean ni tigaras toho di rondang nibulan, leleng ma hita mangolu sahat gabean tu parhorasan tongtong ma didongani Tuhan

Botima...horass ma jala gabe

By : Op Christo DS Sihombing Pematang Siantar

Ulos Batak Toba

Kain Ulos telah menjadi bagian kebudayaan masyarakat Batak, sejak zaman dulu hingga sekarang.

Ulos juga menjadi souvenir khas Sumatera Utara.


Salah satu tempat untuk melihat pembuatan kain ulos adalah di Pulau Samosir, yang berada di tengah-tengah Danau Toba. Anda dapat melihat keindahan Danau Toba sekaligus mempelajari pembuatan kain ulos. Di sana juga terdapat banyak toko cinderamata yang menjual kain ulos sebagai oleh-oleh.

Di Pulau Samosir, banyak terdapat pengrajin kain ulos yang memakai alat-alat tradisional. Para pengrajin dari Pulau Samosir sudah terkenal dengan keahliannya membuat kain ini. Salah satu tempat pembuatan kain ulos di Pulau Samosir adalah Desa Perbaba. Para traveler juga bisa mencoba pembuatan kain ulos dengan alat-alat tradisional di sini.

Jika diperhatikan, ada 3 warna dasar dari kain ulos, yaitu merah, hitam dan putih. Tingkat kesulitan pembuatan kain ulos pun berbeda-beda. Beberapa jenis ulos di antaranya sibolang, ragihotang, mangiring, sadum dan lain-lain. Harga kain ulos berkisar dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Hal tersebut tergantung dari jenis, motif dan bahannya.

Menurut kepercayaan suku Batak, terdapat 3 sumber kehangatan yaitu matahari, api, dan kain ulos. Suku Batak kebanyakan tinggal di bukit yang dingin, selain matahari, ulos juga menjadi sumber kehangatan bagi mereka. Kain ulos memiliki peranan penting di kehidupan Masyarakat Batak. Selain dipakai dalam kegiatan sehari-hari, kain ulos juga digunakan dalam acara-acara besar seperti pernikahan, kelahiran dan upacara kematian.

Kain ulos memiliki keistimewaan tersendiri di masyarakat batak. Tidak heran, pada zaman dulu, biasanya kain ulos yang dipakai oleh keluarga kerajaan Batak adalah emas dan perak. Selain itu, jika ada beberapa perayaan acara besar yang tidak menggunakan ulos, maka tidaklah sah acara tersebut.

Ada banyak juga ajaran suku Batak dalam menggunakan kain ulos. Salah satunya, kain ulos tidak boleh diberikan dari yang rendah kedudukannya kepada yang lebih tinggi. Misalnya, dari anak kepada bapaknya. Masih banyak lagi ajaran dari suku Batak dan sejarahnya mengenai kain ulos.

Berkunjung ke Sumatera Utara akan terasa lengkap saat Anda membeli kain ulos untuk oleh-oleh. Selain memajukan perekonomian masyarakat setempat, tentunya Anda juga telah menghargai kebudayaan asli Indonesia. Horas!

Baca juga artikel tentang