Kilas Kisah Lopian, Putri Raja yang Tewas di Pangkuan Ayah

Tugu Sisingamangaraja XII dengan latar Kota Tarutung. Disini pertama kali jenajahnya dimakamkan sebelum dipindahkan ke Balige.(By.Leonardo Joentak)


Satu abad lebih telah silam.Tanggal 17 Juni 1907 adalah hari bersejarah bagi orang Batak, dikaitkan dengan sejarah perjuangan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu (Raja Sisingamangaraja XII). Pada hari itu, di suatu tempat sepi di sekitar Pearaja, Sionom Hudon, Dairi, sejarah mencatat tragedi kematian Sisingamangaraja XII (SSM XII). Dua orang putranya yakni Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta empat orang panglimanya yang setia, ikut tewas pada waktu yang hampir bersamaan.

Dalam bingkai kisah tragis itu, anak perempuan SSM XII bernama Lopian (lazim disebut Putri Lopian) mengalami luka cukup parah terkena peluru senapan serdadu Belanda yang dipimpin kapten Christoffel. Saat itu Lopian masih berusia 17 tahun. Dia setia hingga akhir mengikuti ayahandanya ketika SSM XII diburu Belanda keluar masuk hutan belantara.

Meski dalam beberapa hal, kisah kematian SSM XII kadang ada selisih versi, namun secara umum merupakan gambaran historis tentang adegan klimaks yang amat dramatis dari seluruh mata rantai perjuangan SSM XII selama lebih kurang 30 tahun menentang Belanda.

Momentum pertempuran sengit di sekitar Pearaja, Dairi, adalah fakta sejarah dimana hampir seluruh sanak keluarga SSM XII turut terlibat secara frontal menghadapi kepungan tentara Belanda yang penuh nafsu membunuh. Berdasarkan sejumlah referensi seputar tragedi kematian SSM XII, detik-detik terakhir pada medio Juni 1907 itu, merupakan momentum sangat genting penuh ketegangan. Pada saat itu, SSM XII bersama isteri, anak-anak, para panglima dan sisa pasukannya, terlunta-lunta naik turun jurang, keluar masuk hutan, dalam kejaran tentara Belanda yang jumlahnya besar dengan kelengkapan senjata lebih modern.

Sore yang kelabu tanggal 17 Juni itu, agaknya sudah ditakdirkan sebagai ending perlawanan SSM XII. Dalam posisi terjepit oleh kepungan pasukan Christoffel, pasukan SSM XII dengan persenjataan kelewang, tombak, dan bambu runcing, benar-benar tak berdaya menghadapi hujan peluru yang dimuntahkan serdadu- serdadu Belanda. Patuan Nagari tewas tertembak di antara desing peluru yang tiada hentinya. Sejumlah sisa pasukan SSM XII juga jatuh terkapar saat mencoba melakukan perlawanan. Sementara itu Kapten Christoffel berseru, agar SSM XII menyerah dan supaya piso gajah dompak yang terkenal keramat itu diberikan. Tetapi SSM XII dari tempatnya berlindung menyahut tegas: “Lebih baik mati dari pada menyerah kepada penjajah”.

Pada saat bersamaan, terdengar jeritan Lopian putri sang raja, yang rupanya terkena tembakan. Seketika SSM XII terkesima, melihat putrinya tercinta rubuh bersimbah darah di atas rerumputan. Dengan piso gajah dompak terhunus di tangan, SSM XII mendekati Lopian dengan langkah gontai, dan langsung memangkunya. Amarahnya meluap. Hatinya luluh melihat putrinya sekarat diterjang peluru penjajah. Namun saat itulah SSM XII tersentak, sadar, bahwa ia berpantang kena darah. Tubuhnya digambarkan lesu, dan kesaktiannya yang legendaries itu seakan pudar. Lalu SSM XII berbisik:” Saatnya sudah tiba…” Tak berapa lama kemudian, beliau juga rubuh oleh tembakan yang dilepas Christoffel dalam jarak tak terlalu jauh. Melihat hal itu, para panglima dan pengikut SSM XII bagai terpana. Sulit mempercayai baginda bisa dilukai peluru.

Akan halnya Lopian, keadaannya sekarat akibat peluru yang mengenai ulu hati. Lalu, rentetan kisah selanjutnya menyebut Lopian sempat ditawan Belanda. Tapi selama ditawan, Lopian memperlihatkan daya tahannya yang luar biasa menentang Belanda. Lopian dilukiskan tidak merintih atau mengeluh dengan luka yang dideritanya.

Adniel Lumbantobing seorang pemerhati kisah perjuangan Sisingamangaraja XII menulis sebuah buku “ Sisingamangaraja XII” pada tahun 1967. Buku itu cukup detil melukiskan perjuangan SSM XII, walaupun rangkaian kisahnya ditulis dengan sederhana. Menurut buku itu, Lopian yang sempat ditawan Belanda, kemudian dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai Pancinoran, di kaki gunung Batu Gaja, Dairi. Tidak diceritakan, siapa yang kemudian mengambil mayat Lopian.

Sementara Prof Dr WB Sijabat dalam buku telaah ilmiahnya “ Ahu Sisingamangaraja” melukiskan, Lopian sosok putri yang setia hingga akhir mendampingi ayahnya dalam kancah perjuangan yang meletihkan. Kendati sebelum kematiannya SSM XII telah memerintahkan seluruh keluarga mencari tempat perlindungan yang aman, tapi Lopian bersikeras ingin mendampingi ayahnya. Itu sebabnya, selama detik-detik perburuan Belanda terhadap SSM XII, Lopian ikut bergerilya mendampingi, dan ikut melakukan perlawanan.

Cuplikan sejarah ini saya kutip berkaitan dengan peringatan Hari Wafatnya Raja Sisingamangaraja XII tanggal 17 Juni 2007 ini. Meskipun Lopian dalam kisah perjuangan SSM XII mungkin ditempatkan pada posisi “figuran”, tapi sesungguhnya perannya cukup strategis dan bermakna historik tersendiri dalam mata rantai perjuangan SSM XII secara lokal maupun regional. Kehadiran dan peran Lopian memang tidak diletakkan pada posisi sentral figur pada setiap penulisan sejarah perjuangan SSM XII. Peran ketokohan dan kejuangan lebih condong pada kedua putra SSM XII, yakni Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Mungkinkah karena Lopian seorang anak perempuan yang porsinya dinilai tak begitu besar dalam ruang lingkup perjuangan itu? Namun bila dicermati, posisi Lopian sesungguhnya mencerminkan sebuah nilai penting, terutama dikaitkan pada momentum akhir kehidupan ayahnya. Paling tidak, momentum akhir itu merefleksikan interaksi bathin seorang ayah dengan seorang anak, atau sebaliknya. Ternyata di saat paling krisis sekalipun, kepentingan (keselamatan) diri sendiri terkadang bisa menempati prioritas kedua, ketika kepentingan lain ( kesetiaan pada perjuangan), menjadi prioritas utama.

Justru itu, ketika beberapa waktu lalu muncul suara yang mengusulkan agar Lopian dinobatkan menjadi “pahlawan nasional” seperti juga ayahnya, banyak yang menyahuti usulan itu dengan respons positif. Sebuah tulisan di salah satu media terbitan Medan, menyatakan Lopian lebih kurang sama dengan Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Lopian dalam konteks perang SSM XII, bukan sekadar penonton atau pelengkap penderita. Dia ikut berada di garis depan, ikut bergelut dengan kemelut, bergerilya di tanah penuh duri dan hutan belantara. Lopian tahu, posisinya tidak menguntungkan saat peluru tajam berdesingan di kiri kanan dan di atas kepalanya. Lopian juga mungkin tahu, dirinya menjadi beban tersendiri bagi ayahandanya. Tapi Lopian telah membuat satu keputusan penting: apapun yang terjadi, ingin tetap bersama ayahnya.

Kadar kejuangan Lopian mungkin belum bisa disetarakan dengan Cut Nyak Dhien di Aceh. Sebab, dalam perang Aceh, Cut Nyak Dhien berposisi sebagai figur sentral, langsung memimpin di lapangan. Sedang Lopian boleh disebut, posisinya mungkin cuma “kebetulan” ikut bersama rombongan SSM XII di medan juang. Tapi paling tidak, dari sudut kadar kejuangan dan semangat anti kolonialisme, nilai-nilai yang terkandung pada jatidiri Cut Nyak Dhien dan Lopian, relatif sama. Mereka sama-sama berjuang, bergerilya, menderita di arena, bertekad sama, dan mati untuk tujuan yang sama.

Nilai kejuangan dan kepahlawanan SSM XII telah dibakukan pemerintah Indonesia, dengan menabalkannya menjadi Pahlawan Nasional. Namanya pun ditabalkan menjadi nama jalan di kota-kota besar maupun kota kecil. Bahkan gambar SSM XII yang direka pelukis Agustin Sibarani sudah pernah menghiasi lembaran uang RI tukaran Rp 1.000 (seribu rupiah). Sementara itu masyarakat Batak juga menabalkan nama besar Sisingamangaraja XII dengan ragam apresiasi. Ada yang menabalkannya menjadi nama universitas, ada yang menabalkannya dalam bentuk kelembagaan seperti Lembaga Sisingamangaraja XII di Medan, Sumut, walaupun kurang jelas apa manfaatnya , untuk apa, untuk siapa, dan sudah bagaimana eksistensinya saat ini.

Penghargaan terhadap nama Patuan Nagari dan Patuan Anggi, dua putra SSM XII juga sudah ada, seperti pembuatan nama jalan di Pematang Siantar, Sidikalang, Balige, Tarutung, dan kota lainnya di Tapanuli. Demikian halnya nama jalan Putri Lopian di Desa Aek Siansimun Tarutung. Itu menunjukkan, bahwa nilai kejuangan Lopian juga diakui orang Batak. Kalau ada yang tidak mengakui, itu pasti karena tidak tahu siapa Lopian dan kenapa dia tewas. Kebanyakan orang mungkin hanya sekadar tahu, bahwa Lopian adalah putrid Sisingamangaraja XII. Tidak dalam konteks kejuangan yang lebih detil.

Lalu, belakangan ada yang melontarkan pertanyaan: mengapa kisah perjuangan Sisingamangaraja XII tidak diabadikan dalam sebuah film kolosal seperti halnya film yang dibuat tentang Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teuku Cik Ditiro, dan lain-lain. Bahkan kisah Lopian, tak kurang menariknya bila diuntai dalam sebuah novel yang kerangkanya adalah kisah perjuangan SSM XII.

Nama Sisingamangaraja XII, sudah menjadi salah satu brand Tano Batak seperti halnya Dr IL Nommensen. Dua nama besar itu berkiprah dalam konteks berbeda tapi berskala relatif sama. Di Sumut ada Universitas Nommensen dan ada Universitas Sisingamangaraja. Sejauh mana orang-orang di balik penggunaan nama itu telah membuahkan sesuatu yang “besar” untuk kepentingan Tano Batak, sebagai basis perjuangan kedua pemilik nama besar itu, masih perlu dikaji dan dicermati.

Kita tidak ingin cuma apresiasi yang sifatnya monumental. Kita ingin, agar mereka yang kini telah berhasil “menimba” fulus dari nama-nama besar itu, membuahkan arti lebih luas bagi Tano Batak, minus kepentingan pribadi semata. Diresmikannya museum nasional Sisingamangaraja di Bakara baru-baru ini memang sudah merupakan satu langkah yang tepat. Itu artinya, Bakara sebagai pusat kerajaan Sisingamangaraja kita arahkan sebagai salah satu situs kesejarahan perjuangan nasional. Namun lebih dari itu, adalah wajar ditindaklanjuti, aspirasi keturunan Sisingamangaraja, bagaimana supaya semua asset historis raja itu (piso Gajah Dompak, stempel/cap, dan lain-lain) yang saat ini berada di negeri Belanda, dapat dikembalikan ke tempat asalnya. Hal itu bisa terealisasi, tergantung sejauh mana pemerintah Indonesia merespons melalui berbagai lobi, termasuk lobi-lobi diplomatik.

Sumber : http://sejarah.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baca juga artikel tentang